Seneca: Hidup Bijaksana adalah Hidup dalam Batas Kebutuhan
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA – Di tengah gaya hidup modern yang serba cepat dan konsumtif, pesan-pesan bijak dari filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca, kembali menggema. Di era digital yang memuja pencapaian materi dan kepuasan instan, Seneca mengingatkan kita bahwa hidup yang baik bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang tahu kapan cukup.
Salah satu ajarannya yang paling kuat adalah tentang hidup dalam batas kebutuhan. “You ask what is the proper limit to a person’s wealth? First, having what is essential, and second, having what is enough,” tulis Seneca. Sebuah pernyataan yang, meskipun berasal dari dua ribu tahun lalu, terasa sangat relevan dengan kehidupan hari ini.
Kebijaksanaan Dimulai dari Kesadaran akan ‘Cukup’
Dalam filosofi Stoikisme, kebahagiaan bukan berasal dari hal eksternal, tetapi dari sikap batin terhadap dunia. Seneca menekankan bahwa kebutuhan dasar manusia sebenarnya tidaklah banyak. Yang membuat hidup menjadi rumit adalah hasrat tak terbatas terhadap kekayaan, status sosial, dan pengakuan.
Seneca melihat bahwa orang-orang yang paling menderita justru bukan mereka yang miskin, tetapi mereka yang tidak pernah merasa cukup. Dalam kutipan lain ia menyatakan, “It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor.” Ketamakan menjauhkan manusia dari kedamaian, sementara kesederhanaan mendekatkan mereka pada kebijaksanaan.
Melawan Budaya Konsumerisme dengan Kesadaran Diri
Di era media sosial, banyak orang terjebak dalam budaya membandingkan hidup mereka dengan orang lain. Standar kebahagiaan ditentukan oleh jumlah pengikut, barang bermerek, liburan mewah, dan pencapaian material. Namun Seneca mengajak kita untuk memutar balik arah: daripada mengikuti standar luar, mari menetapkan batas yang sehat dari dalam diri sendiri.
Hidup dalam batas kebutuhan bukan berarti menyerah pada kemiskinan, tetapi memilih untuk tidak menjadi budak keinginan. Seneca berkata, “What fortune has made yours is not your own.” Artinya, harta yang diberikan oleh nasib bisa kapan saja diambil kembali. Yang benar-benar menjadi milik kita hanyalah kebajikan dan sikap kita terhadap hidup.
Mengajarkan Nilai kepada Diri Sendiri dan Generasi Berikutnya
Seneca menyarankan agar kita hidup dengan kesadaran penuh terhadap setiap keputusan, terutama yang berkaitan dengan harta dan keinginan. Gaya hidup yang hemat dan sadar kebutuhan bukan hanya baik bagi diri sendiri, tetapi menjadi contoh berharga bagi orang lain—terutama generasi muda yang tumbuh dalam dunia yang serba instan.
Mengajarkan bahwa cukup itu lebih dari cukup adalah warisan terbaik. Karena seperti kata Seneca, “Fidelity purchased with money, money can destroy.” Apa yang dibeli dengan harta bisa dengan mudah direnggut oleh harta pula. Tetapi apa yang diperoleh melalui kebijaksanaan, akan bertahan selamanya.
Mengukur Keberhasilan dari Dalam, Bukan dari Luar
Filosofi Stoik mendorong kita untuk mengganti tolak ukur kesuksesan dari hasil eksternal ke kualitas internal. Apakah kita tenang? Apakah kita bersyukur? Apakah kita bisa hidup tanpa iri terhadap kehidupan orang lain? Inilah parameter sejati menurut Seneca.
Dalam ajarannya, ia menegaskan bahwa “Success is not greedy, as people think, but insignificant. That is why it satisfies nobody.” Pencapaian duniawi seringkali tidak memberikan kepuasan yang bertahan lama. Sementara hidup dalam batas kebutuhan akan membawa kita pada kepuasan sejati—yang muncul dari kebebasan batin.
Kesimpulan: Kembali pada Hidup yang Esensial
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak henti-hentinya menuntut lebih, pesan Seneca adalah napas segar: hidup bijaksana berarti tahu kapan berhenti. Bukan karena menyerah, melainkan karena sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari menumpuk, melainkan dari melepaskan.
Dengan hidup dalam batas kebutuhan, kita tidak hanya menyelamatkan diri dari keserakahan dan stres, tetapi juga memberikan ruang bagi kebahagiaan, ketenangan, dan makna yang lebih dalam. Seperti yang dikatakan Seneca, “He who has made a fair compact with poverty is rich.”