Plato: “Jarang Sekali Aku Menjumpai Ahli Matematika yang Mampu Bernalar” — Sebuah Tafsir tentang Logika dan Realitas
- Image Creator/Handoko
Di era modern, matematika memegang peran penting dalam teknologi, ilmu komputer, keuangan, dan berbagai bidang strategis lainnya. Namun, kritik Plato tetap relevan. Di banyak sistem pendidikan, siswa diajarkan untuk menjawab soal matematika dengan cara tertentu—tepat, cepat, dan sesuai rumus. Tapi mereka jarang diajak berpikir tentang “mengapa” rumus itu digunakan, atau bagaimana penerapannya dalam kehidupan nyata.
Akibatnya, banyak lulusan yang hebat dalam angka, tapi kesulitan dalam membuat keputusan yang logis dan etis. Dalam dunia profesional pun, ada kecenderungan untuk lebih menghargai keterampilan teknis dibanding kemampuan berpikir strategis dan analitis secara luas.
Penalaran: Keterampilan yang Terabaikan di Dunia Akademik
Pernyataan Plato membuka ruang diskusi penting: apakah sistem pendidikan kita lebih banyak mencetak ahli, atau pemikir? Di Indonesia, hal ini sangat relevan. Kurikulum nasional selama bertahun-tahun menekankan pada hasil akhir—nilai ujian, kelulusan, dan sertifikasi. Namun, keterampilan berpikir kritis dan logika sering kali tidak mendapat porsi yang memadai.
Kita butuh lebih dari sekadar penguasaan angka untuk membangun bangsa. Kita butuh warga negara yang mampu menganalisis masalah, mempertanyakan status quo, dan membuat keputusan bijak. Inilah jenis penalaran yang ditekankan Plato—penalaran yang lahir dari kesadaran, bukan sekadar keterampilan teknis.
Matematika dan Etika: Sebuah Kesenjangan yang Perlu Dijembatani
Salah satu alasan utama Plato mengajukan kritik terhadap para matematikawan adalah karena ia melihat adanya pemisahan antara logika teknis dan nilai moral. Dalam dunia modern, hal ini terlihat nyata: seorang insinyur bisa menciptakan teknologi canggih, tetapi tidak memikirkan dampaknya terhadap lingkungan. Seorang data analyst bisa menyusun algoritma untuk perusahaan, namun tidak mempertimbangkan apakah sistem itu adil.