Kebajikan: Harta Sejati yang Tak Tergoyahkan — Pandangan Massimo Pigliucci

Massimo Pigliucci
Sumber :
  • Cuplikan layar

Yogyakarta, WISATA — Dalam zaman di mana segala sesuatu tampaknya dapat dibeli, dicuri, atau dirampas, filsuf modern Massimo Pigliucci mengingatkan kita akan satu hal yang tak tergoyahkan: “Kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati yang tidak bisa direnggut siapa pun.” Dalam kalimat sederhana ini, tersimpan ajakan mendalam untuk memaknai kembali apa arti keberhasilan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati.

Jules Evans: “Dalam Dunia yang Penuh Kegaduhan, Keheningan Batin adalah Kekuatan Super”

Kebajikan Menurut Stoikisme: Sumber Kehormatan yang Abadi

Dalam tradisi Stoikisme—filsafat yang dihidupkan kembali oleh Pigliucci melalui berbagai karyanya, termasuk How to Be a Stoic (2017)—kebajikan (virtue) dianggap sebagai satu-satunya hal yang benar-benar baik. Segala yang lain, seperti kekayaan, ketenaran, kesehatan, atau kekuasaan, hanyalah hal-hal eksternal (indifferent)—baik jika dimiliki, namun tidak menentukan nilai seseorang.

Jules Evans: “Kebijaksanaan Dimulai Saat Kita Membedakan antara Apa yang Dapat Kita Kontrol dan Apa yang Tidak”

Bagi Pigliucci, konsep ini bukan sekadar pemikiran etis, tetapi merupakan pedoman hidup. Kebajikan adalah kemampuan untuk bertindak secara adil, bijaksana, berani, dan memiliki kendali diri, terlepas dari situasi atau tekanan eksternal. Dan yang paling penting: tidak ada yang bisa mencabutnya dari kita—kecuali kita sendiri yang menyerahkannya.

Mengapa Kebajikan Tidak Bisa Direnggut?

Jules Evans: “Filsafat Kuno Bukanlah Museum Ide, tetapi Alat Hidup untuk Mengarungi Tantangan Modern”

Berbeda dengan harta, jabatan, atau reputasi yang dapat berubah dalam sekejap, kebajikan berada dalam wilayah kendali kita sepenuhnya. Ini adalah hasil dari pilihan sadar dan konsisten untuk bertindak benar, bahkan ketika tidak ada yang melihat, bahkan ketika dunia tidak membalas kebaikan kita.

Bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun—di bawah tirani, dalam kemiskinan, atau kesepian—kita tetap bisa memilih untuk bertindak adil, berkata jujur, dan menahan amarah. Inilah, menurut Pigliucci, kekuatan sejati seorang manusia.

Dalam salah satu catatannya, ia menyampaikan: “Kita tidak bisa mengendalikan keberuntungan, tapi kita bisa mengendalikan integritas.” Artinya, hidup bisa mengguncang kita dari luar, tetapi nilai dan karakter kita hanya bisa ditentukan dari dalam.

Ketika Dunia Memburu yang Fana, Stoikisme Menawarkan yang Kekal

Di tengah budaya modern yang memuja materi, ketenaran, dan pengaruh, pesan Pigliucci terdengar radikal—tetapi justru karena itulah ia relevan. Dalam dunia yang tak menentu, banyak orang kehilangan arah karena menggantungkan identitas dan nilai hidupnya pada hal-hal eksternal. Ketika pekerjaan hilang, tubuh menua, atau media sosial mengecam, mereka runtuh.

Stoikisme menawarkan pondasi yang lebih kokoh: membangun harga diri berdasarkan kebajikan, bukan validasi eksternal. Kita mungkin kehilangan pekerjaan, rumah, bahkan orang-orang tercinta. Tetapi jika kita tetap berperilaku bijak, adil, dan berani, maka kita tidak pernah benar-benar kehilangan apa-apa yang penting.

Latihan Menjadi Manusia yang Berbudi

Massimo Pigliucci mendorong pembaca dan pengikutnya untuk tidak hanya mempelajari filsafat, tetapi melatihnya. Dalam praktik Stoik harian, berikut adalah beberapa cara mempertahankan dan memperkuat kebajikan:

1.     Refleksi Malam Hari: Tanyakan pada diri sendiri setiap malam, "Apakah saya telah berlaku adil, jujur, dan tenang hari ini?"

2.     Latihan Pengendalian Diri: Menahan diri dari reaksi impulsif terhadap kritik atau pujian, dan bereaksi dengan integritas.

3.     Bertindak tanpa Mengharapkan Imbalan: Melakukan kebaikan karena itu benar, bukan karena ingin dipuji.

4.     Menjaga Konsistensi Nilai: Tetap memegang prinsip etika dalam keputusan sehari-hari, bahkan dalam hal-hal kecil.

Kesimpulan: Satu-satunya Kekayaan yang Abadi

Massimo Pigliucci mengingatkan kita bahwa tidak ada kekuatan luar yang lebih kuat daripada kekuatan dalam diri untuk memilih apa yang benar. Kebajikan, dalam pengertian Stoik, bukan sekadar moralitas pasif, melainkan tindakan aktif untuk menjalani hidup dengan kesadaran, integritas, dan tujuan.

Dalam dunia yang mudah terombang-ambing oleh opini, tren, dan gangguan digital, mempertahankan kebajikan mungkin terasa kuno—tetapi justru karena itu ia menjadi bentuk revolusi moral yang paling berani.

Seperti kata Pigliucci, “Kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati yang tidak bisa direnggut siapa pun.” Maka jika dunia mengambil segalanya darimu, tetapi kamu tetap menjaga kebajikan, kamu belum kehilangan apa-apa—sebaliknya, kamu telah menang atas dunia.