Menghadapi Kesulitan dengan Pikiran Jernih: Pelajaran Kekuatan dari Massimo Pigliucci
- Cuplikan layar
Yogyakarta, WISATA — Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, di mana tantangan datang silih berganti, banyak dari kita mencari cara untuk menjadi lebih kuat. Namun filsuf kontemporer Massimo Pigliucci memberikan jawaban yang tidak biasa, tapi sangat relevan: “Kita menjadi lebih kuat bukan karena menghindari kesulitan, tetapi karena menghadapinya dengan pikiran jernih.”
Sebagai salah satu tokoh penting dalam kebangkitan kembali Stoikisme modern, Pigliucci menekankan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada pelarian dari masalah, melainkan dalam kesiapan menghadapi masalah itu dengan kesadaran penuh. Baginya, kesulitan adalah bagian dari kehidupan manusia yang tak terelakkan — dan di sanalah latihan kebijaksanaan dan karakter diuji.
Kesulitan Bukan Musuh, Tapi Arena Latihan Diri
Dalam tradisi filsafat Stoik, kesulitan tidak dilihat sebagai musuh. Sebaliknya, mereka dianggap sebagai kesempatan berharga untuk mengasah karakter, melatih disiplin diri, dan memperkuat ketahanan batin. Pigliucci mengadopsi pendekatan ini dalam banyak karyanya, termasuk buku terkenalnya How to Be a Stoic (2017), yang mengajak pembacanya untuk tidak hanya berpikir filosofis, tetapi menjalani hidup secara filosofis.
Bagi Pigliucci, menghadapi kesulitan bukan sekadar soal keberanian atau ketabahan, tetapi tentang membawa pikiran jernih — kesadaran untuk memahami situasi secara rasional, mengendalikan reaksi emosional, dan bertindak sesuai dengan kebajikan. Inilah inti dari kehidupan Stoik: berani menghadapi badai, namun tetap tenang di dalam.
Pikiran Jernih sebagai Alat Navigasi
Menghadapi kesulitan tanpa pikiran jernih ibarat mengarungi badai tanpa kompas. Emosi yang meledak-ledak, ketakutan yang membutakan, dan penilaian yang impulsif hanya akan menambah penderitaan. Pigliucci mengajak kita untuk mengganti respons otomatis dengan refleksi sadar.