Kebahagiaan Adalah Keyakinan: Pesan Abadi Marcus Aurelius tentang Cara Pandang Diri Sendiri”

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Jakarta, WISATA — Di tengah gelombang arus modern yang terus mendorong pencapaian lahiriah sebagai tolok ukur kebahagiaan, filosofi kuno kembali mengingatkan kita bahwa makna sejati kebahagiaan bukanlah tentang apa yang kita miliki, melainkan tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Marcus Aurelius, kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik, menyampaikan pesan mendalam dalam salah satu catatan terkenalnya:

Seneca: Mengapa Orang yang Selalu Ingin Lebih Justru yang Paling Miskin

“No man is happy who does not think himself so.”
(Tiada seorang pun yang bahagia jika ia tidak menganggap dirinya bahagia.)

Kutipan ini tampak sederhana, tetapi menyimpan kebenaran mendalam yang relevan hingga hari ini. Aurelius, yang menjalani hidup penuh tanggung jawab di tengah tantangan dan peperangan, memahami bahwa kebahagiaan tidak berasal dari kondisi eksternal, tetapi dari persepsi internal.

Seneca: Kemiskinan Hanya Membutuhkan Sedikit, Tapi Keserakahan Tidak Pernah Cukup

Kebahagiaan dan Persepsi Diri

Pesan Marcus Aurelius sejalan dengan temuan psikologi modern: kebahagiaan adalah konstruksi kognitif. Artinya, seseorang bisa memiliki segalanya—harta, kekuasaan, ketenaran—tetapi tetap merasa tidak bahagia karena persepsi terhadap dirinya sendiri tidak positif.

Seneca: Mengapa Kesuksesan Tak Pernah Membuat Kita Puas

Di sisi lain, banyak orang yang hidup dengan sederhana, jauh dari sorotan, tetapi merasa damai dan utuh karena mereka menganggap hidup mereka cukup dan layak dijalani dengan penuh syukur. Mereka merasa bahagia karena mereka berpikir demikian, bukan karena dunia luar memberi label “bahagia” kepada mereka.

Fenomena ini disebut juga sebagai kebahagiaan subjektif (subjective well-being), yaitu bagaimana seseorang menilai dan merasakan hidupnya sendiri, terlepas dari penilaian orang lain.

Mengapa Cara Kita Berpikir Itu Penting?

Jika seseorang percaya bahwa ia tidak bahagia, maka seluruh cara pandangnya terhadap dunia akan dipengaruhi oleh keyakinan itu. Ia akan lebih mudah melihat kekurangan, merasa tersaingi, cemburu, atau bahkan putus asa. Pikiran negatif ini kemudian menciptakan spiral emosi yang menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Namun, jika seseorang berpikir bahwa ia bahagia—bahkan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya—ia akan cenderung lebih ramah terhadap orang lain, lebih terbuka terhadap tantangan, dan lebih mudah bersyukur.

Inilah inti dari pemikiran Marcus Aurelius: kebahagiaan adalah keputusan batin, bukan hadiah dari dunia luar.

Stoikisme dan Kekuatan Pengendalian Diri

Stoikisme, aliran filsafat yang dianut Marcus Aurelius, mengajarkan bahwa kita tidak punya kendali atas banyak hal dalam hidup—cuaca, opini orang lain, bahkan hasil usaha kita—tetapi kita sepenuhnya berkuasa atas respons dan pikiran kita.

Jika kita memilih untuk percaya bahwa kita bahagia, maka kita sedang membentuk fondasi kuat untuk kesehatan mental yang tahan banting (resilience). Inilah kekuatan dari dalam yang ditawarkan Stoikisme: hidup tidak harus sempurna untuk menjadi bermakna.

Relevansi di Era Digital

Saat ini, kita hidup di era di mana definisi bahagia seringkali dibentuk oleh media sosial. Kita diajarkan untuk mengejar standar tertentu: traveling ke luar negeri, memiliki rumah estetik, pasangan ideal, karier yang menanjak, dan tubuh yang “sempurna”. Semua itu menciptakan tekanan mental luar biasa.

Namun, jika kita mengikuti ajaran Marcus Aurelius, kita akan sadar bahwa kebahagiaan sejati tidak ada hubungannya dengan citra digital. Kebahagiaan adalah hasil dari keputusan sadar untuk menghargai diri sendiri dan menerima hidup apa adanya, bukan membandingkan diri terus-menerus dengan orang lain.

Langkah Praktis untuk Membangun Persepsi Bahagia

1.     Sadari Pola Pikir Negatif
Latih diri untuk mengenali saat-saat ketika Anda berkata, “Aku tidak cukup…” atau “Hidupku belum seperti orang lain.” Tantang pikiran itu.

2.     Ubah Narasi Diri
Alih-alih berkata, “Aku gagal,” ubah menjadi, “Aku sedang belajar.” Kata-kata yang Anda gunakan untuk mendeskripsikan diri Anda membentuk realitas Anda.

3.     Jurnal Harian
Catat setiap malam hal-hal yang membuat Anda merasa cukup dan bahagia hari itu, sekecil apa pun.

4.     Kurangi Konsumsi Media Sosial
Lihat media sosial sebagai hiburan, bukan tolok ukur hidup. Ingat bahwa yang ditampilkan di sana hanyalah versi terbaik dari orang lain.

5.     Latih Syukur dan Mindfulness
Setiap hari, duduk tenang selama 5 menit dan perhatikan napas Anda. Ucapkan dalam hati, “Saat ini, aku hidup. Saat ini, aku cukup.”

Pesan Penutup: Kebahagiaan adalah Tindakan Intelektual

Kebahagiaan bukanlah peristiwa yang datang secara kebetulan. Ia adalah hasil dari keputusan intelektual dan emosional untuk melihat hidup dengan kacamata penerimaan dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Seperti yang dikatakan Marcus Aurelius, seseorang tidak akan pernah benar-benar bahagia jika ia sendiri tidak menganggap dirinya demikian. Maka dari itu, langkah pertama untuk hidup bahagia bukanlah mengubah dunia, melainkan mengubah cara kita memandang diri kita.