Marcus Aurelius: Jiwa yang Menyerah Terlebih Dahulu Adalah Aib dalam Kehidupan

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Filsuf Stoik yang juga Kaisar Romawi, Marcus Aurelius, pernah mengungkapkan kalimat tajam dan penuh makna: “It’s a disgrace in this life when the soul surrenders first while the body refuses to.” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya: “Merupakan sebuah kehinaan dalam hidup ketika jiwa menyerah terlebih dahulu sementara tubuh masih menolak menyerah.”

Chrysippus: “Keberanian adalah Fondasi untuk Menghadapi Segala Rintangan; Tanpa Keberanian, Kebajikan Tidak Akan Tumbuh”

Ungkapan ini mencerminkan semangat Stoik yang menekankan keteguhan hati, kekuatan mental, dan kemampuan untuk terus berjuang menghadapi kesulitan hidup, bahkan ketika fisik masih sanggup bertahan. Dalam dunia yang semakin dipenuhi tekanan emosional, stres mental, dan kelelahan batin, kata-kata Marcus Aurelius ini menjadi refleksi mendalam akan pentingnya menjaga ketahanan jiwa di tengah segala tantangan.

Keteguhan Jiwa: Pilar dari Ketahanan Manusia

Chrysippus: "Hidup adalah Rangkaian Sebab-Akibat; Pahamilah Bahwa Apa yang Terjadi, Terjadi Sesuai dengan Hukum Alam"

Dalam ajaran filsafat Stoik, manusia diajarkan untuk fokus pada hal-hal yang berada dalam kendalinya, yakni pikiran dan sikap mental, bukan pada hal-hal eksternal yang tidak dapat diubah. Marcus Aurelius menegaskan bahwa kekuatan sejati manusia terletak pada kemampuannya mengendalikan jiwanya, bukan pada kekuatan fisik semata.

Menurut Dr. Made Indrawan, dosen filsafat klasik Universitas Udayana, “Kalimat Marcus Aurelius ini bukan hanya pernyataan moral, tapi juga seruan untuk membangun daya tahan mental. Ia menyoroti ironi yang menyakitkan: tubuh masih mampu berjalan, namun jiwa sudah menyerah lebih dulu.”

Chrysippus: Setiap Kesulitan adalah Ujian untuk Ketangguhan Pikiran; Hadapi dengan Kepala Dingin serta Hati yang Tabah

Ketika seseorang merasa terpuruk secara batin meskipun secara fisik masih sehat dan kuat, itu menunjukkan bahwa yang rapuh bukan tubuhnya, melainkan jiwanya. Ini pula yang membuat depresi, keputusasaan, dan hilangnya motivasi menjadi tantangan besar bagi manusia modern.

Tantangan Jiwa di Era Modern

Di tengah arus kehidupan modern yang cepat, kompetitif, dan penuh distraksi, tak sedikit orang merasa kehilangan makna hidup. Banyak yang secara fisik sehat, tetapi jiwanya kosong, bingung, atau merasa gagal. Mereka menyerah bukan karena lelah fisik, melainkan karena tekanan mental dan kehilangan arah.

Psikolog klinis, dr. Rania Putri, menuturkan bahwa banyak pasien yang mengeluh merasa “mati rasa” atau “kehilangan semangat”, padahal secara fisik mereka masih mampu bekerja dan beraktivitas. “Ini adalah situasi yang digambarkan oleh Marcus Aurelius — kondisi di mana jiwa sudah menyerah, meskipun tubuh masih bisa bertahan. Ini menandakan pentingnya menjaga kesehatan mental dan spiritual,” ujarnya.

Mengabaikan kesehatan jiwa dapat menyebabkan kehampaan eksistensial, ketidakpuasan hidup, dan bahkan kecenderungan untuk menyerah dalam menghadapi tantangan yang sebenarnya masih bisa dihadapi.

Menjaga Jiwa Tetap Tangguh

Untuk menjaga agar jiwa tetap teguh dan tidak mudah menyerah, diperlukan kesadaran diri, latihan mental, dan keberanian untuk menghadapi kenyataan, betapapun sulitnya. Filsafat Stoik mengajarkan untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya (amor fati), sekaligus berusaha berbuat yang terbaik dalam batas yang bisa kita kendalikan.

Beberapa cara praktis menjaga keteguhan jiwa:

1.     Refleksi harian
Luangkan waktu untuk merenungkan nilai hidup, tujuan pribadi, dan apa yang sebenarnya penting dalam hidup.

2.     Menulis jurnal pemikiran
Seperti Marcus Aurelius yang menulis Meditations, kebiasaan menulis bisa membantu memperjelas pikiran dan menguatkan tekad.

3.     Menghindari distraksi berlebihan
Media sosial, berita negatif, dan perbandingan sosial dapat menggerogoti ketenangan jiwa. Batasi konsumsi informasi yang tidak perlu.

4.     Membangun makna hidup
Miliki tujuan yang lebih besar dari sekadar rutinitas. Hal ini memberi arah bagi jiwa untuk terus berjalan, bahkan saat tubuh merasa lelah.

5.     Berlatih ketabahan
Hadapi ketidaknyamanan secara sadar. Keberanian untuk hidup di tengah ketidakpastian adalah bukti jiwa yang kuat.

Jiwa yang Kuat Menjaga Manusia Tetap Berdiri

Marcus Aurelius percaya bahwa kekuatan sejati manusia bukan di ototnya, melainkan dalam pikirannya. Jiwa yang mantap, penuh kesadaran, dan tetap tegar akan menjaga manusia tetap berdiri walaupun badai kehidupan datang silih berganti.

Kalimat “It’s a disgrace in this life when the soul surrenders first while the body refuses to” bukanlah sekadar kritik, tetapi juga ajakan — ajakan untuk tidak menyerah pada ketakutan, kekecewaan, atau rasa putus asa. Tubuh kita bisa menjadi kendaraan yang tangguh, tetapi tanpa jiwa yang kuat, arah perjalanan akan hilang.

Penutup: Jangan Menyerah Sebelum Bertempur

Di zaman sekarang, menjaga tubuh tetap sehat sudah menjadi prioritas banyak orang. Namun, menjaga jiwa tetap hidup dan tidak menyerah terlalu dini sering kali terabaikan. Marcus Aurelius mengingatkan kita bahwa kehinaan sejati bukanlah ketika tubuh tidak mampu melanjutkan, melainkan ketika jiwa kita menyerah sebelum berjuang.

Setiap orang pasti menghadapi masa sulit. Namun, seperti yang diajarkan dalam filsafat Stoik, tantangan adalah bagian alami dari kehidupan, dan sikap mental kitalah yang menentukan apakah kita akan tumbuh dari pengalaman itu, atau hancur karenanya.