Dari Skolastik ke Skeptisisme: Jalan Sunyi Menuju Zaman Modern

William of Ockham
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA – Di balik reruntuhan pemikiran abad pertengahan yang begitu kental akan nuansa teologis, berdiri satu sosok yang diam-diam mengukir jalur baru menuju zaman modern. Namanya William of Ockham, seorang biarawan Fransiskan yang lebih dikenal karena prinsip “Pisau Ockham”-nya, namun lebih dalam dari itu, ia adalah peletak dasar bagi pelepasan filsafat dari dominasi teologi.

25 Kutipan dari William of Ockham: Biara, Logika, dan Awal Revolusi Pemikiran Barat

Dalam dunia abad pertengahan, teologi adalah raja. Filsafat hanyalah pelayan yang tugasnya menjelaskan dan membela dogma gereja. Namun, ketika Ockham mulai menggugat hubungan ini, ia tak hanya menantang sistem berpikir zamannya, tetapi juga membuka gerbang menuju kebebasan intelektual yang lebih luas: dari keyakinan kolektif menuju pencarian personal, dari otoritas tunggal menuju keberagaman pandangan, dari teologi menuju filsafat yang otonom.

Ketika Skolastik Menguasai Pikiran

Ketika Teologi Tak Lagi Mendominasi: Ockham dan Krisis Otoritas Abad Pertengahan

Selama berabad-abad, pemikiran filsafat Barat berada di bawah bayang-bayang skolastik—tradisi yang menyatukan iman Kristen dengan filsafat Yunani, terutama Aristoteles. Thomas Aquinas adalah representasi tertinggi dari proyek ini. Ia menyusun sistem teologi yang sangat rasional, menjadikan logika dan argumentasi sebagai alat utama memahami Tuhan, dosa, keselamatan, dan segala sesuatu di antaranya.

Namun, dalam upaya menyelaraskan akal dengan iman, para skolastik justru menjadikan filsafat alat legitimasi bagi dogma gereja. Rasionalitas tidak bebas, ia dibingkai dan diarahkan oleh doktrin. Filsuf menjadi teolog yang cerdas, bukan pemikir bebas.

Pisau Ockham: Mengapa Kesederhanaan Bisa Mengguncang Gereja dan Filsafat?

Lalu, datanglah William of Ockham.

Ockham: Pisau yang Memisahkan

William of Ockham mengusulkan sebuah cara berpikir radikal. Ia menolak universalitas sebagai entitas nyata, menantang realisme skolastik yang selama ini mendominasi. Bagi Ockham, konsep-konsep umum seperti “kemanusiaan” atau “keadilan” tidak memiliki eksistensi di luar pikiran. Yang nyata hanyalah individu dan fakta empiris. Ini adalah dasar dari nominalisme—pandangan yang menyederhanakan ontologi dan menolak entitas metafisik yang tidak perlu.

Lebih jauh lagi, Ockham memisahkan iman dari akal. Ia menolak gagasan bahwa keberadaan Tuhan bisa dibuktikan melalui argumen logis. Bagi Ockham, iman bersifat suprarasional dan tidak tunduk pada sistem logika manusia. Ini adalah pelepasan besar: filsafat tidak lagi harus membuktikan dogma, dan dogma tidak perlu tunduk pada filsafat.

Menuju Skeptisisme dan Otonomi Intelektual

Apa yang dilakukan Ockham tampaknya sederhana—menyederhanakan, mempertanyakan, membedakan—namun akibatnya sangat dalam. Dengan menolak realisme skolastik dan memisahkan iman dari rasio, ia mengguncang dasar-dasar teologi skolastik. Ia memperkenalkan keraguan yang sehat: bahwa tidak semua yang diklaim sebagai “pengetahuan suci” benar-benar bisa dijustifikasi secara rasional.

Inilah cikal bakal skeptisisme modern. Bukan skeptisisme destruktif yang menolak segalanya, tetapi skeptisisme metodologis yang menguji dan mempertanyakan dengan jujur. Para pemikir pasca-Ockham mulai merasa bahwa kebenaran harus dicari dengan cara baru—melalui pengalaman, pengamatan, eksperimen—bukan sekadar penalaran metafisik dalam ruang kelas teologi.

Dengan kata lain, Ockham adalah tokoh transisi. Ia hidup di dunia teologis, namun pikirannya mulai membebaskan filsafat dari dominasi teologi.

Warisan yang Diam-Diam Mengubah Dunia

Setelah Ockham, dunia pemikiran Eropa tak pernah sama lagi. Para filsuf mulai menempuh jalur-jalur baru yang lebih bebas. Renaisans menyalakan kembali minat terhadap teks-teks Yunani-Romawi kuno. Reformasi Protestan mengguncang otoritas Gereja, dan Revolusi Ilmiah kelak akan menggeser sumber kebenaran dari kitab suci ke laboratorium.

Meski Ockham bukan ilmuwan, ia meletakkan batu pertama bagi metode ilmiah: hilangkan entitas yang tak perlu, cari penjelasan paling sederhana, dan jangan percaya sesuatu hanya karena otoritas mengatakannya. Prinsip Ockham’s Razor ini kelak menjadi pegangan ilmuwan dari Newton hingga Einstein.

Dari Jalan Sunyi ke Zaman Baru

Menariknya, Ockham sendiri tidak melihat dirinya sebagai pembaharu besar. Ia adalah biarawan yang hidup dalam tekanan, bahkan sempat dikucilkan oleh Gereja karena pandangannya. Ia tidak memimpin gerakan massa, tidak mendirikan aliran, tidak menjadi simbol revolusi. Namun, ide-idenya mengalir dalam sunyi, menembus dinding-dinding zaman, dan menjadi bagian dari transformasi intelektual terbesar dalam sejarah Eropa.

Ockham membuktikan bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari benturan keras. Kadang, ia hadir lewat sebuah pisau kecil yang tajam: memisahkan hal yang penting dari yang tidak perlu, membedakan yang bisa diuji dari yang sekadar diyakini, dan membuka ruang bagi pemikiran yang lebih bebas.

Penutup: Jalan Menuju Kebebasan Berpikir

William of Ockham bukanlah filsuf paling populer, tapi ia adalah salah satu yang paling berpengaruh. Ia menunjukkan bahwa kebebasan berpikir dimulai dari keberanian untuk mempertanyakan dasar-dasar yang selama ini dianggap mutlak. Dalam sunyi, ia menggugat sistem yang mapan dan mengantar Eropa keluar dari bayang-bayang skolastik menuju cahaya modernitas.

Dari Skolastik ke Skeptisisme, dari Dogma ke Rasionalitas, dari Otoritas ke Pengalaman—semua bermula dari pertanyaan sederhana: Apakah ini benar-benar perlu?