Socrates: “Orang yang Berpikir Dia Tahu Segalanya Sebenarnya Paling Tidak Tahu” — Peringatan Keras bagi Era Digital
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – “Orang yang berpikir dia tahu segalanya sebenarnya paling tidak tahu.” Kutipan mendalam dari filsuf Yunani kuno, Socrates, ini kembali relevan di tengah arus informasi yang begitu deras di era digital. Ungkapan tersebut bukan hanya sindiran terhadap kesombongan intelektual, tetapi juga refleksi filosofis atas pentingnya kesadaran diri dalam proses pencarian pengetahuan.
Di zaman media sosial, di mana opini sering kali dianggap sebagai fakta, kata-kata Socrates ini menjadi pengingat bahwa keangkuhan dalam berpikir bisa menutup pintu menuju kebenaran. Orang yang merasa tahu segalanya akan berhenti belajar, dan di situlah bahaya terbesar mengintai.
Socrates dan Konsep Ketidaktahuan yang Bijaksana
Socrates, yang hidup pada abad ke-5 sebelum Masehi, dikenal karena prinsip utamanya: “Saya tahu bahwa saya tidak tahu.” Prinsip ini menekankan bahwa pengakuan terhadap ketidaktahuan merupakan fondasi dari pengetahuan sejati. Dalam diskusi-diskusinya, Socrates tidak berusaha menggurui, tetapi justru memancing orang untuk berpikir lebih kritis melalui dialog terbuka.
Bagi Socrates, orang yang mengklaim tahu segalanya justru menunjukkan bahwa ia belum benar-benar memahami batas pengetahuannya. Sementara orang yang menyadari bahwa ia tidak tahu, akan lebih terbuka, belajar dengan rendah hati, dan akhirnya menjadi lebih bijaksana.
Era Digital: Ilusi Pengetahuan di Tengah Banjir Informasi
Internet menawarkan kemudahan akses terhadap informasi dalam jumlah yang luar biasa. Namun, kemudahan ini sering kali membuat seseorang merasa telah mengetahui banyak hal hanya karena pernah membaca satu artikel atau menonton satu video. Inilah yang disebut “ilusi pengetahuan”—di mana seseorang merasa paham padahal belum memiliki pemahaman yang mendalam.
Fenomena ini menjadi semakin parah ketika orang menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Dalam konteks inilah kutipan Socrates menjadi sangat penting. Masyarakat butuh kembali pada kesadaran bahwa memahami adalah proses panjang, dan merasa tahu segalanya justru menghambat proses itu.
Pendidikan dan Bahaya “Merasa Tahu”
Dalam dunia pendidikan, siswa yang merasa sudah paham sering kali menolak belajar lebih jauh. Begitu pula dalam profesi, karyawan atau pemimpin yang merasa paling tahu akan sulit menerima masukan atau gagasan baru. Inilah jebakan intelektual yang membuat individu stagnan dan lembaga sulit berkembang.
Metode Socratic—yang mengedepankan pertanyaan, diskusi, dan eksplorasi pemikiran—menjadi solusi untuk membentuk budaya belajar yang sehat. Guru dan pemimpin idealnya bukan penyampai kebenaran mutlak, melainkan fasilitator yang membantu orang lain berpikir dan menemukan jawabannya sendiri.
Kesombongan Intelektual di Media Sosial
Media sosial kini menjadi tempat banyak orang menyuarakan opininya. Namun, sering kali perdebatan berubah menjadi ajang saling menjatuhkan karena masing-masing pihak merasa paling benar. Jarang ada yang dengan rendah hati berkata, “Saya belum tahu, tolong jelaskan.”
Sikap Socratic yang mengutamakan ketidaktahuan sebagai titik awal pengetahuan dapat menjadi kunci untuk meredam konflik-konflik digital. Jika lebih banyak orang bersedia mengakui keterbatasannya, diskusi daring akan menjadi lebih sehat, inklusif, dan produktif.
Ketidaktahuan Bukan Aib, Tetapi Kesempatan Belajar
Banyak orang merasa malu mengakui bahwa mereka tidak tahu. Padahal, Socrates justru menjadikan pengakuan itu sebagai kebajikan. Mengaku tidak tahu bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti keberanian dan kejujuran intelektual.
Sikap ini harus ditanamkan sejak dini dalam sistem pendidikan dan budaya kerja. Seseorang tidak harus tahu semua hal, tetapi ia harus memiliki kemauan untuk belajar dan mendengarkan. Inilah pondasi dari pembelajaran sepanjang hayat yang sangat dibutuhkan di dunia yang terus berubah.
Socrates dan Pemimpin Masa Kini
Dalam kepemimpinan modern, kerendahan hati menjadi nilai yang semakin dihargai. Pemimpin yang menganggap dirinya tahu segalanya akan kehilangan kepercayaan timnya. Sebaliknya, pemimpin yang mengakui bahwa ia juga masih belajar justru akan dihormati karena kejujurannya.
Socrates mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan yang memiliki semua jawaban, tetapi yang mampu mengajukan pertanyaan yang tepat. Dalam dunia yang kompleks, pertanyaan yang jujur lebih berharga daripada jawaban yang terburu-buru dan tidak akurat.
Solusi: Membangun Masyarakat yang Mau Belajar
Untuk menciptakan masyarakat yang berpengetahuan, diperlukan budaya yang mendorong rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap sudut pandang lain. Pendidikan harus menanamkan nilai-nilai Socratic: berpikir kritis, berdiskusi dengan sehat, dan menghargai ketidaktahuan sebagai awal pembelajaran.
Platform digital juga perlu didorong untuk tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga mendorong pengguna untuk bersikap kritis, memverifikasi data, dan menghindari klaim berlebihan.
Penutup: Merangkul Ketidaktahuan Sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan
Ungkapan Socrates tentang “orang yang berpikir dia tahu segalanya” adalah kritik tajam terhadap ego intelektual yang sering kali menghambat kemajuan pribadi dan sosial. Dalam dunia yang penuh dengan opini dan informasi palsu, kesediaan untuk mengakui bahwa kita belum tahu menjadi kekuatan tersendiri.
Ketika seseorang berkata, “Saya belum tahu,” maka pada saat itulah pintu menuju kebijaksanaan dibuka. Dan seperti yang diyakini oleh Socrates, dari kesadaran akan ketidaktahuanlah, pengetahuan sejati dimulai