Filsafat Epictetus: Warisan Stoa yang Dipengaruhi Socrates, Plato, dan Logika Megarian
- Image Creator Grok/Handoko
Menariknya, Epictetus justru tidak banyak merujuk kepada Stoik generasi pertengahan seperti Panaetius dan Posidonius. Walaupun ia memiliki kesamaan dalam penekanan pada etika praktis dan tanggung jawab peran sosial, tidak ada bukti langsung bahwa ia terpengaruh oleh mereka. Referensinya terhadap mazhab filsafat lain pun cenderung singkat dan bersifat evaluatif. Misalnya, ia menyebut aliran Sinisisme dengan nada hormat, namun menekankan bahwa Sinisisme lebih merupakan gaya hidup ketimbang sistem pemikiran. Sementara itu, terhadap Epicureanisme yang menekankan kenikmatan sebagai tujuan hidup, ia menyatakan penolakan tegas dan menganggapnya bertentangan dengan prinsip moral Stoa.
Dari semua ini, tampak bahwa Epictetus adalah seorang pemikir yang teguh pada akar Stoikisme awal, namun tidak menutup diri terhadap pemikiran dari aliran lain. Ia menyerap ide-ide yang sejalan dengan ajaran Stoa, tetapi menolaknya bila bertentangan dengan prinsip rasionalitas dan kendali diri yang menjadi pusat filsafatnya.
Karya utama Epictetus, yakni Discourses, masih menjadi rujukan penting dalam studi filsafat moral dan etika hingga kini. Meskipun ditulis oleh Arrian, seorang muridnya, gaya bahasa yang digunakan—yang kasar, langsung, dan penuh istilah teknis Stoa—menunjukkan bahwa karya tersebut lebih mencerminkan pemikiran asli Epictetus daripada interpretasi penulisnya. Encheiridion atau Manual, yang merupakan ringkasan dari Discourses, memang lebih populer karena pendek, tetapi terkadang justru menyederhanakan atau bahkan menyesatkan dalam menyampaikan kompleksitas pemikiran Epictetus.
Pemikiran Epictetus bukan hanya relevan pada zamannya. Konsep seperti prohairesis, tanggung jawab diri, dan keteguhan dalam menghadapi penderitaan menjadikan filsafatnya abadi. Di tengah dunia modern yang penuh tekanan dan kompleksitas moral, ajaran Epictetus tentang pentingnya kontrol terhadap hal-hal yang berada dalam kuasa kita—dan ketenangan terhadap hal-hal yang tidak—menjadi lebih bermakna dari sebelumnya.
Filsafatnya adalah ajakan untuk hidup dengan integritas, keberanian moral, dan keteguhan hati. Sebuah ajaran yang sederhana namun kuat: bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri, bukan dari dunia luar yang penuh ketidakpastian.