Socrates Filsuf Buruk Rupa, Hidup Sederhana, dengan Metode Bertanya Bisa Merubah Peradaban Dunia
- Image Creator/Handoko
Berbanding terbalik dengan mayoritas pria Athena, Socrates kerap bicara tentang “pria dan wanita” secara setara. Ia menyanjung pendeta perempuan (Symposium) dan menyebut Aspasia dari Miletus sebagai guru retorikanya (Menexenus). Ia juga menghargai Diotima, pendeta erotika dari Mantinea, sebagai pengajarnya soal cinta suci.
Dalam tradisi pederasti Athena, lelaki matang membimbing remaja melalui hubungan emosional, kadang seksual, demi membentuk karakter pemuda. Socrates pun mengakui daya tariknya pada para muda, tetapi menolak godaan fisik—termasuk dari murid kesayangan Alcibiades (Symposium 219b–d). Baginya, misi luhurnya adalah menyelamatkan jiwa Athena, bukan memuaskan nafsu.
Bisikan Daimonion: Guru Ilahi atau Keganjilan Batin?
Socrates kerap menyebut mengalami bisikan batin—daimonion—yang mencegahnya melakukan tindakan tertentu. Bisikan ini bukan suara hati moral biasa, melainkan semacam panggilan ilahi yang kadang trivial, kadang genting. Keyakinannya akan pedoman batin inilah yang makin mengundang kecurigaan teman sebangsa—bahkan menjadi salah satu tuduhan kriminalitas intelektual saat ia diadili tuduhan meracuni kaum muda dan meremehkan dewa Athena.
Metode “Pengadilan Jiwa” di Agora
Setiap hari, di pasar, pelabuhan, atau dekat pohon-pohon zaitun, Socrates menghampiri para pemuda, budak, orang kaya, dan tamu asing. “Hidup yang tak diperiksa tidak pantas dijalani,” kata Socrates dalam Apology (38a). Dengan pertanyaan sederhana—“Apa itu keberanian?”, “Apa itu keadilan?”—ia menyeret lawan bicaranya ke dalam kesadaran bahwa mereka tak pernah benar-benar memikirkan jawaban. Banyak pemuda Athena meniru gaya kritisnya, membuat orang tua mereka geram. Namun perubahan sosial bermula dari kegelisahan itu.
Politik Tanpa Pilih Sisi