Socrates dan Kebahagiaan Sejati: Dekat dengan Tuhan Lewat Hidup yang Sederhana

Socrates
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Malang, WISATA – Dalam lautan pemikiran filsafat Yunani kuno, nama Socrates berdiri sebagai mercusuar kebijaksanaan yang tak pernah redup. Salah satu kutipan paling terkenal dari Socrates berbunyi, “He is nearest the gods who has fewest wants” atau dalam bahasa Indonesia, “Ia yang paling dekat dengan para dewa adalah ia yang paling sedikit keinginannya.” Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tetapi menyimpan makna mendalam tentang kesederhanaan, pengendalian diri, dan kebahagiaan sejati.

Socrates dan Kebijaksanaan Sejati: Belajar dari Kesadaran Akan Ketidaktahuan

Pemikiran Socrates ini mengandung pesan kuat: bahwa kedekatan dengan nilai-nilai ilahi, moralitas yang luhur, dan ketenangan batin bukan ditemukan dalam kemewahan, kekuasaan, atau ambisi tanpa henti—melainkan justru dalam pengurangan keinginan duniawi.

Menyelami Makna: Hidup Sederhana sebagai Jalan Menuju Ketenangan

Socrates dan Makna Kematian: Ketika Akhir Justru Menjadi Awal

Dalam pandangan Socrates, manusia cenderung menciptakan penderitaan sendiri melalui keinginan yang berlebihan. Keinginan untuk memiliki lebih, menguasai lebih banyak, atau tampil lebih unggul sering kali membuat manusia gelisah, cemas, dan bahkan kehilangan arah hidup. Semakin banyak keinginan, semakin besar pula kemungkinan seseorang merasa tidak puas.

Sebaliknya, orang yang bisa hidup dengan sedikit keinginan, yang mampu membatasi dirinya dan menghargai apa yang sudah dimilikinya, justru akan mengalami ketenangan. Dalam filsafat Yunani, inilah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan—menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

Socrates dan Makna Cinta: Dorongan Jiwa Menuju Kebaikan yang Abadi

Di zaman modern yang serba cepat dan penuh distraksi, ajaran ini tetap relevan. Gaya hidup minimalis yang kini digemari banyak orang sebenarnya tidak jauh berbeda dari prinsip Socrates: mengurangi keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Refleksi Terhadap Budaya Konsumerisme

Kutipan Socrates juga mengajak kita untuk merenungkan budaya konsumtif yang melekat kuat dalam masyarakat masa kini. Banyak orang berlomba-lomba membeli barang mewah, mengejar status sosial, atau menumpuk harta tanpa akhir. Namun sering kali, semua itu justru menambah beban pikiran dan mengikis ketenangan batin.

Socrates bukan menolak kenikmatan hidup, tetapi ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan terletak pada jumlah barang yang dimiliki, melainkan pada kemampuan untuk melepaskan keinginan yang tidak perlu.

Sebagaimana disampaikan oleh banyak psikolog dan peneliti kebahagiaan modern, tingkat kepuasan hidup seseorang lebih dipengaruhi oleh hubungan sosial yang sehat, rasa syukur, serta kehidupan yang bermakna—bukan oleh akumulasi kekayaan semata.

Socrates: Filsuf yang Hidup Konsisten dengan Ajarannya

Yang menarik, Socrates tidak hanya menyampaikan ide ini dalam bentuk kata-kata. Ia juga menjalani hidup yang sederhana dan bersahaja. Ia tidak memiliki rumah mewah, tidak mengenakan pakaian indah, dan tidak mengejar jabatan politik meskipun memiliki pengaruh besar di Athena. Ia hidup untuk mencari kebenaran, berdiskusi dengan orang-orang di pasar, dan menantang mereka untuk berpikir lebih dalam tentang hidup.

Socrates percaya bahwa hidup yang baik adalah hidup yang diperiksa—the unexamined life is not worth living. Baginya, memeriksa hidup berarti mengevaluasi apakah keinginan kita benar-benar dibutuhkan, atau hanya dorongan sesaat yang menipu pikiran.

Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

Bayangkan Anda hidup di tengah keramaian kota, dengan iklan dan media sosial yang setiap hari membombardir Anda dengan pesan: “Kamu harus punya ini!”, “Kamu belum sukses kalau belum mencapai itu!”. Tanpa disadari, hal ini mendorong kita untuk merasa tidak cukup, meskipun secara objektif, hidup kita sudah berkecukupan.

Ajaran Socrates menjadi pengingat penting bahwa kecukupan itu bukan terletak pada jumlah harta, tapi pada perasaan cukup. Ia yang paling dekat dengan kebijaksanaan, kedamaian, dan bahkan Tuhan, adalah orang yang mampu berkata dalam hati: “Apa yang aku miliki sudah cukup untuk hidup bahagia.”

Kesederhanaan Bukan Keterbatasan

Kesalahan umum yang sering terjadi adalah menganggap hidup sederhana sebagai bentuk kekurangan atau keterbatasan. Padahal, kesederhanaan adalah pilihan sadar untuk hidup lebih ringan, lebih bermakna, dan lebih bebas dari tekanan sosial.

Dalam budaya Timur, kita juga mengenal konsep serupa seperti “nrimo ing pandum” dalam falsafah Jawa atau prinsip “sederhana tapi bahagia” yang banyak diajarkan dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal. Semua itu mengarah pada satu kebenaran universal: manusia menjadi lebih damai ketika tidak dikuasai oleh nafsu dan keinginan berlebihan.

Socrates dan Spiritualitas Modern

Meski Socrates hidup di era politeistik Yunani kuno, makna "dewa" atau "Tuhan" dalam kutipannya dapat dipahami secara lebih luas dalam konteks spiritualitas modern. Ia yang paling sedikit keinginannya adalah ia yang paling dekat dengan nilai-nilai ketuhanan: keheningan, kedamaian, kebijaksanaan, dan kasih sayang.

Dalam agama-agama besar di dunia, ajaran serupa juga muncul. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang zuhud, hidup sederhana, dan tidak melekat pada harta. Dalam ajaran Buddha, keinginan dianggap sebagai sumber penderitaan yang utama.

Maka bisa dikatakan bahwa ajaran Socrates telah menembus lintas budaya dan lintas zaman. Ia mengajarkan nilai-nilai universal yang tetap relevan di masa kini, dan mungkin akan terus dibutuhkan di masa depan.

Penutup: Kembali ke Diri Sendiri

Dalam menghadapi dunia yang makin kompleks, mungkin kita perlu kembali menengok pesan Socrates. Daripada terus mengejar yang lebih, cobalah sesekali bertanya: “Apa yang benar-benar aku butuhkan?”

Dengan menurunkan keinginan, kita bisa meningkatkan kualitas hidup, memperkuat hubungan sosial, dan mendekatkan diri pada ketenangan spiritual yang selama ini kita cari-cari di luar diri, padahal sesungguhnya ada di dalam hati kita sendiri.