Dari Yunani ke Baghdad: Jejak Pemikiran Aristoteles dalam Tradisi Islam
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Pada masa kejayaannya, filsafat Yunani menjadi tonggak penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat. Salah satu tokoh sentralnya adalah Aristoteles, filsuf besar yang hidup pada abad ke-4 SM, yang pemikirannya terus menjadi rujukan hingga saat ini. Namun, siapa sangka, warisan intelektual Aristoteles justru menemukan rumah baru di Baghdad, pusat peradaban dunia Islam pada Zaman Keemasan Islam.
Melalui proses penerjemahan, pengembangan, dan integrasi nilai-nilai Islam, pemikiran Aristoteles diadaptasi oleh para cendekiawan Muslim untuk menjawab tantangan intelektual dan spiritual pada masanya. Artikel ini akan membahas bagaimana gagasan Aristoteles menembus batas budaya dan agama, membentuk fondasi ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam, dan memberikan dampak yang abadi hingga era modern.
Aristoteles: Sang Bapak Logika dan Metafisika
Aristoteles adalah murid dari Plato dan guru bagi Alexander Agung. Ia menulis karya-karya monumental di berbagai bidang, seperti logika, etika, metafisika, biologi, dan politik. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah sistem logika deduktif, yang menjadi metode dasar dalam berpikir ilmiah.
Dalam bukunya Metafisika, Aristoteles menyatakan bahwa "semua manusia secara alami ingin mengetahui." Pernyataan ini menjadi landasan bagi semua upayanya dalam memahami alam semesta dan tempat manusia di dalamnya.
Dari Alexandria ke Baghdad: Jalan Panjang Pemikiran Aristoteles
Setelah jatuhnya Yunani ke tangan Romawi, karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Suriah oleh para cendekiawan Kristen di Alexandria dan Antiokhia. Namun, perjalanan gagasan Aristoteles menuju dunia Islam dimulai ketika Khalifah Abbasiyah di Baghdad mendirikan Baitul Hikmah atau House of Wisdom pada abad ke-8.