Kebahagiaan atau Kepuasan? Temukan Perbedaan Menurut Aristoteles dan Teori Eudaimonia-nya

Aristoteles di Tengah Murid-muridnya (ilustrasi)
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Jakarta, WISATA - Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang sering kali bingung membedakan antara kebahagiaan dan kepuasan. Istilah-istilah ini sering digunakan secara bergantian, padahal menurut Aristoteles, seorang filsuf besar dari Yunani Kuno, keduanya memiliki makna yang sangat berbeda. Melalui konsep Eudaimonia, Aristoteles menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati jauh lebih dalam daripada sekadar kepuasan sementara. Dalam pandangannya, Eudaimonia adalah bentuk kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai melalui kehidupan yang bermoral dan kebajikan.

Misteri Ketenangan Socrates: Bagaimana Kematian Menjadi Pintu Menuju Kebijaksanaan?

Apa Itu Eudaimonia?

Aristoteles memperkenalkan istilah Eudaimonia dalam karyanya yang berjudul Nicomachean Ethics, sebuah konsep yang menggambarkan kondisi ideal di mana seseorang menjalani kehidupan yang baik dan bermakna. Eudaimonia sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan," tetapi lebih akurat jika diartikan sebagai kehidupan yang benar-benar sejahtera atau kebahagiaan yang melibatkan kesempurnaan karakter dan kebajikan. Bagi Aristoteles, Eudaimonia adalah tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.

Etika Menurut Plato: Apakah Kejahatan Benar-Benar Hanya Ketidaktahuan?

Namun, penting untuk dicatat bahwa Eudaimonia berbeda dari hedonia, konsep lain yang lebih terkait dengan kesenangan atau kepuasan sementara. Sementara hedonia berkaitan dengan kenikmatan sesaat, seperti kebahagiaan yang kita rasakan ketika memuaskan hasrat atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, Eudaimonia jauh lebih dalam, yaitu kebahagiaan yang berasal dari menjalani kehidupan yang bermakna dan seimbang secara moral.

Kepuasan: Kesenangan Sesaat

Mengapa Plato Menganggap Kebajikan Adalah Pengetahuan? Sebuah Kunci Moralitas dalam Filsafat

Kepuasan dalam konteks modern sering kali diartikan sebagai perasaan senang atau puas setelah mencapai tujuan atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Misalnya, kita mungkin merasa puas setelah makan makanan lezat, memperoleh pencapaian pribadi, atau memiliki benda yang kita idamkan. Kepuasan ini umumnya bersifat sementara dan tidak bertahan lama, karena setelah tujuan tercapai atau kebutuhan terpenuhi, kita cenderung mencari hal lain untuk memuaskan keinginan kita yang terus berubah.

Aristoteles mengakui bahwa kesenangan dan kepuasan sesaat adalah bagian dari kehidupan manusia. Namun, ia menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diukur hanya dari jumlah kesenangan yang dirasakan. Kepuasan bersifat sementara dan sering kali membuat manusia kembali mencari kepuasan yang lebih tinggi lagi setelah kebutuhan dasar mereka terpenuhi.

Kebahagiaan: Lebih dari Sekadar Kepuasan

Dalam pandangan Aristoteles, kebahagiaan sejati atau Eudaimonia adalah bentuk kebahagiaan yang berbeda dari kepuasan sementara. Kebahagiaan yang dimaksud oleh Aristoteles melibatkan proses jangka panjang, di mana seseorang harus menjalani kehidupan yang penuh dengan kebajikan, moralitas, dan pengembangan diri.

Menurut Aristoteles, kebahagiaan sejati bukanlah tujuan akhir yang bisa dicapai dengan memenuhi keinginan material atau mencari kesenangan sesaat. Kebahagiaan adalah kondisi yang berkembang sepanjang hidup dan hanya bisa dicapai melalui perilaku baik yang didorong oleh rasionalitas dan kebijaksanaan. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati terjadi ketika seseorang menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai etika dan memenuhi potensi terbaik dalam dirinya.

Dalam hal ini, Eudaimonia adalah kebahagiaan yang berkesinambungan, tidak tergantung pada faktor eksternal seperti kekayaan, status sosial, atau kesenangan fisik. Sebaliknya, kebahagiaan ini berasal dari dalam, dari bagaimana kita mengembangkan karakter dan kebajikan serta bagaimana kita menjalani kehidupan secara bijaksana.

Kebajikan sebagai Kunci Eudaimonia

Salah satu pilar penting dari Eudaimonia adalah kebajikan (virtue). Bagi Aristoteles, kebajikan adalah perilaku baik yang lahir dari kebiasaan. Kebajikan bukan sesuatu yang didapat secara instan, tetapi harus terus dilatih dan dipraktikkan. Aristoteles percaya bahwa kehidupan yang bermoral adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Ia membagi kebajikan ke dalam dua kategori: kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral mencakup sifat-sifat seperti keberanian, kesederhanaan, keadilan, dan kedermawanan, sementara kebajikan intelektual berkaitan dengan pemikiran rasional dan kebijaksanaan. Untuk mencapai Eudaimonia, seseorang harus mengembangkan kedua jenis kebajikan ini melalui pendidikan, pengalaman, dan latihan terus-menerus.

Menurut Aristoteles, manusia yang mampu menjalani kehidupan dengan mempraktikkan kebajikan secara konsisten akan merasakan kebahagiaan yang berkelanjutan, berbeda dari kepuasan yang bersifat sementara.

Perbedaan Antara Kebahagiaan dan Kepuasan

Dari penjelasan di atas, terlihat jelas perbedaan mendasar antara kebahagiaan dan kepuasan menurut Aristoteles:

  1. Kepuasan adalah perasaan sementara yang muncul ketika keinginan atau kebutuhan sesaat terpenuhi. Misalnya, kepuasan bisa dirasakan setelah makan makanan enak, tetapi setelah beberapa saat, rasa lapar akan kembali.
  2. Kebahagiaan sejati atau Eudaimonia, di sisi lain, adalah kondisi hidup yang berkesinambungan dan tidak tergantung pada hal-hal eksternal. Ini adalah hasil dari menjalani kehidupan yang bermoral, berkesinambungan, dan penuh kebajikan.

Bagi Aristoteles, kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai melalui kehidupan yang bermoral dan pengembangan karakter. Sementara kepuasan mungkin memberi rasa bahagia sesaat, hanya Eudaimonia yang menawarkan kebahagiaan sejati yang tahan lama.

Mengapa Konsep Eudaimonia Relevan Saat Ini?

Di dunia modern yang penuh dengan kecepatan dan tekanan sosial untuk meraih kesuksesan material, konsep Eudaimonia dari Aristoteles memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang arti kebahagiaan. Di tengah berbagai tantangan untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek seperti karier, status, atau kekayaan, banyak orang sering kali merasa kehilangan makna dalam hidup mereka.

Dengan mengingat kembali ajaran Aristoteles, kita bisa merenungkan bagaimana kehidupan yang bermakna tidak sekadar tentang mencapai keberhasilan eksternal, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup yang berkebajikan dan berkembang secara moral.

Dalam dunia yang serba cepat ini, kebahagiaan sejati dapat dicapai dengan berfokus pada pengembangan karakter dan menjalani kehidupan dengan prinsip-prinsip moral. Aristoteles mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari luar, tetapi berasal dari keputusan yang kita buat setiap hari, untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati atau Eudaimonia adalah perjalanan hidup yang berkesinambungan, yang hanya bisa dicapai melalui pengembangan kebajikan moral dan kehidupan yang bermakna. Kepuasan, meskipun menyenangkan, bersifat sementara dan tidak dapat memberikan kebahagiaan yang mendalam seperti Eudaimonia.

Dalam dunia modern yang penuh dengan godaan kepuasan sesaat, ajaran Aristoteles tentang kebahagiaan mengingatkan kita untuk melihat hidup dari perspektif yang lebih luas. Kebahagiaan sejati adalah hasil dari proses internal yang melibatkan pembentukan karakter dan pengembangan kebajikan sepanjang hidup.