Cengkeraman El Niño dan Ritual Pengorbanan Anak yang Menghantui di Peradaban Chimú, Peru

Sisa-sisa Kerangka yang Dikorbankan
Sumber :
  • Instagram/moda_andina

Malang, WISATA – Peradaban Chimú, yang terkenal dengan arsitekturnya yang canggih, sistem pertanian yang luas dan seni yang rumit, berkembang pesat di pantai utara Peru dari abad ke-10 hingga ke-15. Namun peradaban ini juga dikenang karena ritual kelamnya, terutama pengorbanan anak, yang sangat terkait dengan respons mereka terhadap fenomena El Niño. Memahami hubungan ini memberikan gambaran unik tentang bagaimana budaya kuno beradaptasi dan menafsirkan perubahan lingkungan yang ekstrem.

Kisah Kehidupan Putra-putri Socrates Hasil Pernikahannya dengan Xanthippe

Para arkeolog yang bekerja di Peru telah menemukan apa yang mereka katakan sebagai situs pengorbanan anak terbesar di dunia. Sekitar 140 anak-anak dan lebih dari 200 hewan, mungkin llama, dibunuh pada pertengahan tahun 1400-an. Sebuah peradaban yang dikenal sebagai Chimú mengorbankan anak-anak sebagai respons terhadap bencana cuaca, pada waktu itu. 

Petunjuk lain yang menunjukkan adanya peradaban dalam kekacauan terkubur bersama dengan mayat-mayatnya. Lapisan lumpur yang tidak biasa dan jejak kaki yang terawetkan di dekat kuburan menunjukkan bahwa pengorbanan tersebut dilakukan setelah hujan lebat. Wilayah yang biasanya gersang ini mungkin telah menjadi lumpuh karena cuaca ekstrem dan basah yang disebabkan oleh sistem El Niño. Para pemimpin Chimú mungkin menafsirkan cuaca buruk sebagai hukuman dari para dewa dan merencanakan pengorbanan drastis untuk meredam kemarahan mereka. 

Inilah Cerita Anak-anak dan Keluarga Socrates yang Belum Banyak Diketahui

Anak-anak yang digunakan dalam pengorbanan tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan dan berusia antara 4 hingga 14 tahun. Mereka kemungkinan besar berasal dari berbagai daerah dan kelompok etnis di kerajaan Chimú. Meskipun tidak diketahui apakah anak-anak tersebut diambil secara sukarela atau diambil secara paksa, budaya Chimú kuno mungkin memandang anak-anak sebagai pengorbanan paling berharga yang dapat dilakukan kepada para dewa. Llama juga merupakan persembahan terbaik bagi suku Chimú karena mereka merupakan sumber transportasi, bulu dan makanan yang berharga.

Banyak anak-anak dan llama ditemukan dengan bekas sayatan di tulang dada dan tulang rusuknya—mungkin hingga jantung mereka terkoyak. Para arkeolog tidak mengetahui apakah anak-anak tersebut dalam keadaan hidup atau mati ketika jantung mereka diambil, namun mereka menduga organ-organ tersebut digunakan dalam upacara pengorbanan. 

Bisa Dicoba, Tips Agar Anda Suka Membaca dan Tidak Mudah Bosan

Sisa-sisa tiga orang dewasa yaitu seorang pria dan dua wanita ditemukan berdekatan dengan anak-anak dan hewan tersebut. Tanda-tanda trauma benda tumpul di kepala dan sedikitnya barang kuburan pada tubuh orang dewasa membuat peneliti curiga bahwa mereka mungkin berperan dalam acara pengorbanan tersebut dan diberangkatkan segera setelahnya. 

Peradaban Chimú, yang berkembang dari abad ke-10 hingga ke-15 di sepanjang pantai utara Peru, berpusat di Chan Chan. Daerah gersang ini membutuhkan irigasi canggih untuk mendukung pertanian. Masyarakat Chimú sangat tersentralisasi dan terstratifikasi, dengan raja memegang kekuasaan absolut, didukung oleh elit penguasa. Pengrajin, pedagang dan buruh memainkan peran penting dalam perekonomian yang dikontrol secara ketat oleh negara melalui sistem kerja paksa. 

Agama sangat mempengaruhi budaya dan pemerintahan Chimú. Mereka politeistik dan sangat menghormati bulan. Upacara rumit diadakan untuk menghormati dewa-dewa mereka, mencari kesuburan pertanian dan perlindungan dari bencana alam. Para pendeta, sebagai perantara yang kuat, melakukan ritual yang mencakup persembahan dan pengorbanan manusia, terutama anak-anak, selama krisis seperti peristiwa El Niño. 

El Niño berdampak besar pada peradaban Chimú, menyebabkan perubahan lingkungan drastis yang sangat mempengaruhi cara hidup mereka. Fenomena iklim yang ditandai dengan pemanasan berkala suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur ini mengganggu pola cuaca normal dan menyebabkan kejadian cuaca ekstrem. Bagi suku Chimú, perubahan ini diwujudkan dalam bentuk kekeringan parah atau bencana banjir, yang keduanya merupakan ancaman besar terhadap sistem pertanian mereka. Pesisir utara Peru yang gersang, tempat suku Chimú berada, sangat bergantung pada jaringan irigasi yang kompleks untuk menopang pertanian. Peristiwa El Niño sering kali menyebabkan kegagalan sistem ini, yang mengakibatkan kegagalan panen, kekurangan pangan, dan ketidakstabilan sosial dan ekonomi. 

Dampak El Niño tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi juga mempengaruhi struktur sosial dan politik yang lebih luas pada peradaban Chimú. Tekanan lingkungan yang disebabkan oleh El Niño menyebabkan kelangkaan sumber daya dan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas, yang dapat mengakibatkan keresahan sosial dan melemahkan otoritas elit penguasa. Pengorbanan ini dipandang penting untuk memulihkan keseimbangan lingkungan dan mengurangi dampak El Niño. Oleh karena itu, El Niño tidak hanya membentuk lanskap fisik wilayah Chimú tetapi juga memengaruhi praktik budaya dan keagamaan mereka, sehingga menyoroti keterhubungan yang mendalam antara iklim dan peradaban. 

Cengkeraman El Niño yang menghantui pada peradaban Chimú mengungkap dampak besar iklim terhadap masyarakat manusia. Praktik pengorbanan anak, yang didorong oleh keputusasaan untuk menenangkan para dewa dan memulihkan keseimbangan lingkungan, menggarisbawahi upaya suku Chimú untuk bertahan hidup. Babak kelam dalam sejarah mereka ini memberikan pengingat yang tajam akan interaksi antara kekuatan alam dan budaya manusia, memberikan wawasan berharga tentang bagaimana peradaban kuno beradaptasi dan dibentuk oleh lingkungannya