"Stat Rosa Pristina Nomine": Refleksi Kehilangan dan Kenangan dalam "The Name of the Rose"

The Name of the Rose
Sumber :
  • Tangkapan layar

Jakarta, WISATA - Di akhir novel The Name of the Rose karya Umberto Eco, pembaca dihadapkan pada kalimat yang begitu sarat makna, yaitu "Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus." Kalimat ini menjadi simbol dari inti filosofi dalam cerita dan merenungkan konsep tentang kehilangan, kenangan, dan bagaimana sejarah hanya dapat dikenang dalam bentuk yang terpotong. Frase ini bukan hanya sekadar akhir dari sebuah cerita misteri, tetapi juga menjadi pintu untuk memahami tema-tema besar yang terkandung dalam novel tersebut, termasuk pengetahuan, kekuasaan, dan peran penting budaya dalam perkembangan peradaban.

Pengaruh 'The Name of the Rose' terhadap Sastra dan Budaya Populer Dunia

Arti dari "Stat Rosa Pristina Nomine"

Kalimat ini dalam bahasa Latin dapat diterjemahkan sebagai, "Rosa yang sejati hanya ada dalam namanya, kita hanya memegang nama yang kosong." Frase ini mengungkapkan sebuah kebenaran mendalam tentang kenangan dan kehilangan. Rosa pristina (Rosa yang sejati) adalah simbol dari sesuatu yang pernah ada dan kini hilang. Dalam konteks novel, ini merujuk pada kebudayaan, pengetahuan, dan warisan yang terhimpun dalam sebuah pustaka besar yang musnah oleh api. Nama-nama yang ada dalam arsip-arsip tersebut, meskipun terdaftar, hanya tersisa sebagai kenangan kosong tanpa bentuk yang sesungguhnya.

Filsafat Semi Abad Pertengahan: Perpaduan Alkitab dan Sastra dalam Karya Umberto Eco

Frase tersebut mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang pernah ada, bahkan jika itu adalah simbol dari kebenaran dan pengetahuan, akhirnya akan lenyap. Sebagian besar dari kita hanya dapat mengenangnya melalui nama-nama dan kata-kata yang tidak lagi memiliki substansi. Hal ini juga mencerminkan bagaimana peradaban dan kebudayaan hanya bertahan dalam bentuk fragmen-fragmen yang berisiko terlupakan.

Kehilangan dan Kenangan: Tema Sentral dalam Novel

William dari Baskerville: Detektif Filosofis dalam Misteri Abad Pertengahan

Seluruh cerita dalam The Name of the Rose dibangun di atas pencarian makna dan pengetahuan, tetapi di akhir cerita, Eco memperkenalkan sebuah ide yang lebih gelap tentang hilangnya sesuatu yang sangat berharga. Tidak hanya arsip dan buku yang dibakar dalam kebakaran, tetapi juga ide-ide dan pemahaman yang hilang bersama dengan kehancuran tersebut. Penghancuran pustaka tersebut menggambarkan betapa rapuhnya peradaban dan betapa mudahnya pengetahuan bisa terhapus oleh kebijakan atau kekuatan yang lebih besar.

Dalam dunia yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi, seperti yang digambarkan dalam biara abad pertengahan tempat cerita berlangsung, bahkan kebenaran sekalipun bisa terdistorsi atau dihancurkan. Proses pemusnahan yang dilakukan oleh pihak berkuasa di biara itu mencerminkan bagaimana kekuasaan dan ideologi seringkali lebih mengutamakan kontrol terhadap pengetahuan daripada penghormatan terhadap pencapaian budaya.

Filosofi di Balik Pembakaran Pustaka

Pembakaran pustaka di The Name of the Rose bukan sekadar peristiwa dramatis dalam cerita, tetapi juga mengandung makna filosofis yang mendalam. Eco menulis tentang ketegangan antara pengetahuan yang "terlarang" dan penguasa yang berusaha menghancurkan pengetahuan tersebut demi menjaga kekuasaan. Dalam cerita ini, rasionalitas dan logika dianggap sebagai ancaman terhadap dogma gereja yang menginginkan kontrol penuh atas pengetahuan umat manusia. Buku-buku yang berisi pemikiran yang lebih rasional dan ilmiah dianggap dapat mengguncang kekuasaan tersebut.

Pembakaran pustaka ini membawa kita pada kenyataan bahwa banyak sekali pengetahuan yang hilang dalam sejarah. Buku-buku yang hilang, ide-ide yang terkubur, semuanya hanya bisa kita kenang melalui nama dan tulisan. Namun, meskipun nama-nama itu masih bisa disebutkan, esensi dari pengetahuan tersebut hilang, seolah-olah hanya tersisa bayang-bayang yang tak terjangkau.

“Stat Rosa Pristina Nomine” dalam Konteks Kehilangan Budaya

Di luar konotasi yang berhubungan dengan pengetahuan yang hilang, kalimat ini juga membawa kita pada pemikiran tentang sejarah dan budaya manusia secara umum. Sejarah adalah cerita yang selalu ditulis ulang, dengan banyak bagian yang hilang atau terlupakan. Budaya, seni, dan warisan sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik dan sosial yang ada, dan banyak kali, apa yang dianggap penting pada satu masa, bisa dihancurkan atau dilupakan oleh generasi berikutnya.

Rosa, dalam arti yang lebih luas, bisa dilihat sebagai simbol dari kebudayaan yang pernah ada tetapi kini telah hilang atau terdegradasi. Dalam dunia yang penuh dengan perubahan cepat, banyak hal yang dulu penting, sekarang hanya menjadi kenangan. Kalimat terakhir dalam novel ini memberikan gambaran tentang bagaimana manusia sering kali hanya bisa mengenang apa yang telah hilang, dan bagaimana kita kadang-kadang hanya bisa memegang “nama” dari hal-hal yang telah sirna.

Refleksi Sosial dan Filosofis dari Kalimat Terakhir

Di tingkat sosial dan filosofis, Stat rosa pristina nomine menyampaikan pesan tentang keterbatasan kita dalam memahami dan mempertahankan pengetahuan dan sejarah. Kehilangan sesuatu yang kita anggap berharga tidak hanya terjadi pada tingkat fisik, tetapi juga pada dimensi ideologis dan kultural. Pengetahuan yang hilang atau disembunyikan oleh kekuasaan meninggalkan kita dengan ruang kosong yang hanya bisa diisi dengan nama-nama dan ingatan yang terdistorsi.

Selain itu, kalimat ini juga mengingatkan kita tentang ketidakmampuan kita untuk benar-benar menguasai sejarah dan pengetahuan yang telah berlalu. Apa yang kita tahu, dan bagaimana kita mengingatnya, hanya merupakan fragmen dari keseluruhan gambar yang lebih besar. Dalam dunia yang semakin terhubung dan cepat berubah ini, kita sering kali terfokus pada perkembangan teknologi dan informasi terkini, sementara bagian-bagian penting dari warisan budaya dan sejarah kita bisa hilang begitu saja.

Makna dalam Kenangan yang Hilang

Kalimat Stat rosa pristina nomine menutup The Name of the Rose dengan sebuah refleksi mendalam tentang kehilangan, kenangan, dan warisan yang terpendam. Eco tidak hanya menulis sebuah cerita misteri, tetapi juga menyelipkan dalamnya filosofi tentang cara kita memandang sejarah dan pengetahuan. Kehilangan adalah bagian dari siklus kehidupan, dan kenangan yang kita simpan hanya mampu memberi kita gambaran yang kabur tentang masa lalu.

Novel ini, melalui kalimat penutupnya, menggambarkan bagaimana banyak hal yang hilang dalam sejarah kita tidak akan pernah kembali. Namun, seperti halnya dengan rose yang terpendam dalam nama, kita hanya bisa merasakannya sebagai fragmen yang terus hidup dalam kenangan.