Kisah Para Sufi, Al-Hujwiri: Penulis Kitab Sufi Pertama dalam Bahasa Persia yang Menggetarkan Hati

Perjalanan Sufi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA — Nama lengkapnya adalah Ali bin Uthman al-Hujwiri, tetapi dunia tasawuf lebih mengenalnya dengan sebutan al-Hujwiri atau Data Ganj Bakhsh, yang berarti “Pemberi Harta Karun Spiritual.” Ia adalah sufi besar dari abad ke-11 yang menorehkan sejarah penting dengan menulis kitab sufi pertama dalam bahasa Persia yang hingga kini masih dibaca dan direnungkan oleh banyak pencari Tuhan: Kasyf al-Mahjub (Penyingkapan yang Tersembunyi).

Kisah Para Sufi: Imam Junaid dan Jalan Sunyi Para Kekasih Tuhan

Al-Hujwiri bukan hanya seorang penulis atau pemikir spiritual, tetapi juga seorang pengembara ruhani yang melintasi banyak negeri demi menggali hikmah. Dari Balkh, Ghazni, hingga Lahore—jejak langkahnya bukan hanya meninggalkan debu di tanah, tetapi juga jejak cahaya dalam sejarah tasawuf Islam.

Kitab Pertama dalam Bahasa Persia yang Menyentuh Hati

Cahaya Hati: 25 Kutipan Terbaik dari Fariduddin Attar, Penyair Burung-Burung yang Terbang Mencari Raja

Kasyf al-Mahjub menjadi istimewa bukan hanya karena ia adalah karya tasawuf tertua dalam bahasa Persia, tetapi karena kedalaman isi dan kelembutan penyampaian yang menyentuh pembaca dari berbagai latar belakang. Di dalamnya, al-Hujwiri menjelaskan konsep-konsep penting tasawuf seperti zuhud (kesederhanaan), tawakal (pasrah kepada Tuhan), mahabbah (cinta Ilahi), ma'rifah (pengenalan terhadap Tuhan), dan fana (lenyapnya diri dalam kehendak Tuhan).

Dengan gaya yang bersahaja namun mendalam, al-Hujwiri mampu menjelaskan hal-hal yang paling abstrak dalam spiritualitas Islam kepada orang awam tanpa kehilangan bobot ilmiahnya. Ia menulis tidak untuk pamer ilmu, tetapi untuk membimbing mereka yang sungguh-sungguh mencari Tuhan.

Cahaya Hati: 25 Kutipan dari Junayd al-Baghdadi, Pemimpin Para Sufi yang Mengajarkan Diam dalam Kedalaman

Dari Ghazni Menuju Lahore: Misi Dakwah Cinta

Al-Hujwiri berasal dari wilayah Ghazni (kini bagian dari Afghanistan) dan belajar dari para sufi besar sezamannya, seperti Abu al-Fadl al-Khuttali dan Abu ‘Ali al-Farmadhi. Ia kemudian bermigrasi ke Lahore (Pakistan sekarang), yang saat itu masih kering dari nilai-nilai spiritualitas Islam.

Di Lahore, ia mendirikan pusat dakwah tasawuf yang terbuka untuk semua kalangan. Bukan hanya kaum terpelajar atau penguasa, tetapi juga rakyat jelata. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan adalah hak semua manusia, bukan hanya milik mereka yang hafal kitab atau fasih bicara.

Sikapnya yang terbuka, penuh kasih, dan rendah hati membuatnya dicintai masyarakat. Hingga hari ini, makamnya di Lahore menjadi tempat ziarah spiritual yang ramai dikunjungi, dan ia disebut sebagai pelopor penyebaran Islam yang damai di anak benua India.

Tasawuf yang Berdiri di Atas Syariat

Salah satu kekuatan al-Hujwiri adalah komitmennya yang teguh terhadap syariat Islam. Meski ia adalah seorang sufi, ia tidak pernah membenarkan praktik-praktik menyimpang atas nama spiritualitas. Dalam kitab Kasyf al-Mahjub, ia berulang kali menekankan bahwa tasawuf sejati tidak pernah bertentangan dengan ajaran syariat.

Ia dengan tegas mengkritik sufi-sufi palsu yang hanya memamerkan karamah atau pengalaman spiritual untuk mendapatkan pujian. Baginya, karamah bukanlah tujuan, melainkan ujian. Ia berkata, “Jalan tasawuf adalah jalan mujahadah (perjuangan), bukan jalan kemudahan dan ketenaran.”

Penjelas Tasawuf yang Jernih dan Terstruktur

Di masa al-Hujwiri, banyak orang masih bingung membedakan antara tasawuf, filsafat, dan kebatinan. Karena itulah Kasyf al-Mahjub menjadi sangat penting. Ia menyusun bab demi bab dengan struktur yang jelas dan menjelaskan istilah-istilah sufi secara sistematis, mulai dari sejarahnya, makna istilahnya, hingga contoh perilaku sufi sejati.

Ia tidak hanya menjelaskan teori, tetapi juga menceritakan kehidupan tokoh-tokoh sufi sebelumnya seperti Hasan al-Basri, Junayd al-Baghdadi, dan al-Hallaj. Ia menyatukan tradisi ilmu dengan pengalaman batin, menjadikan kitabnya sebagai jembatan antara dunia akal dan dunia rasa.

Warisan yang Terus Menginspirasi

Berabad-abad setelah wafatnya, karya dan ajaran al-Hujwiri terus menginspirasi. Tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Ghazali dan Rumi pun disebut mendapat pengaruh dari karya-karya awal seperti Kasyf al-Mahjub. Bagi para pelajar spiritual, kitab ini adalah pintu awal yang aman dan jernih untuk memahami tasawuf.

Di era modern, Kasyf al-Mahjub telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Urdu, Inggris, dan Indonesia. Dalam setiap terjemahan dan pengajaran ulangnya, ruh dari tulisan al-Hujwiri tetap terasa hidup—tenang, tulus, dan membimbing.

Menyentuh Hati di Era Digital

Di tengah derasnya informasi dan kegaduhan media sosial, pesan-pesan sunyi al-Hujwiri menjadi oase yang menyegarkan. Ia mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemui bukan di langit yang jauh, tetapi di dalam hati yang bersih dan pikiran yang jernih.

Kita tidak perlu menunggu menjadi sempurna untuk mencintai Tuhan. Sebaliknya, kata al-Hujwiri, justru cinta kepada Tuhanlah yang akan membersihkan jiwa kita dari segala cela. Inilah pesan abadi yang dibawanya: cinta, kerendahan hati, dan kejujuran spiritual adalah kunci menuju kedekatan dengan Sang Kekasih.

Ketika Ilmu, Zikir, dan Cinta Menjadi Satu

Al-Hujwiri memadukan tiga hal yang seringkali sulit dijaga bersamaan: ilmu yang dalam, zikir yang khusyuk, dan cinta yang tulus. Ia tidak hanya tahu banyak, tapi juga hidup dalam apa yang ia tahu. Ia tidak hanya menghafal ayat, tapi juga menangis ketika membacanya. Ia tidak hanya menulis, tetapi membimbing dengan jiwa dan kasih.

Dalam salah satu bagian kitabnya, ia menulis: “Cinta sejati kepada Tuhan tidak memerlukan alasan. Ia datang seperti cahaya, tanpa suara, tanpa paksaan, dan mengubah segalanya menjadi lebih bermakna.”

Penutup

Al-Hujwiri adalah bukti bahwa pena bisa menjadi alat dakwah yang sangat kuat, ketika ditulis dengan keikhlasan dan pengalaman batin yang dalam. Melalui Kasyf al-Mahjub, ia telah menghidupkan tasawuf dalam bahasa yang bisa dipahami hati manusia. Ia telah menunjukkan bahwa kata-kata yang keluar dari hati, akan masuk pula ke hati.

Dalam dunia yang sering kali terlalu keras dan tergesa-gesa, karya dan ajaran al-Hujwiri mengingatkan kita untuk melambat sejenak, mendengarkan batin, dan kembali ke sumber segala cinta—Tuhan yang Maha Pengasih.