Rupiah Melemah Tajam! Sentimen Perang Dagang Trump Picu Anjloknya Nilai Tukar ke Rp 16.958 per Dolar AS

Rupiah Makin Terpuruk
Sumber :
  • pixabay

Jakarta, WISATA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami tekanan signifikan di awal perdagangan hari ini, Rabu (9/4/2025). Berdasarkan data pasar spot, rupiah terpantau melemah sebesar 67 poin atau sekitar 0,40 persen, dan kini berada di level Rp 16.958 per dolar AS.

Ekonomi AS Terancam Melambat Tajam, Resesi Semakin Dekat Akibat Kebijakan Tarif yang Agresif

Level ini menunjukkan depresiasi lanjutan setelah pada perdagangan sebelumnya, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menetapkan nilai tukar rupiah di angka Rp 16.849 per dolar AS. Tekanan terhadap mata uang garuda dipicu oleh situasi global yang memanas, terutama dari arah Washington, D.C.

Perang Dagang Kembali Berkobar, Trump Ancam Naikkan Tarif Jadi 104 Persen

Prabowo Bicara Blak-blakan: “Saya Tidak Takut Pasar Modal, Indonesia Kuat!”

Pelemahan rupiah hari ini bukan semata akibat faktor domestik. Lukman Leong, analis dari Doo Financial Futures, menyebutkan bahwa sentimen global, khususnya terkait perang dagang antara Amerika Serikat dan China, menjadi faktor utama.

Menurut Lukman, tensi perang dagang kembali meningkat setelah mantan Presiden AS, Donald Trump, yang kini kembali aktif dalam peta politik global, mengeluarkan pernyataan keras. Trump mengancam akan menaikkan tarif terhadap produk asal Tiongkok menjadi 104 persen. Langkah ini disebut sebagai balasan atas kebijakan tarif balasan yang diberlakukan Beijing sebesar 34 persen terhadap produk AS.

Dampak Ekonomi Global: Akankah Indonesia Terjerumus dalam Krisis dan Kekacauan Politik?

“Rupiah diperkirakan akan melemah terhadap dolar AS di tengah sentimen risk-off oleh meningkatnya tensi perang dagang,” jelas Lukman dalam keterangannya kepada VIVA, Rabu (9/4/2025).

Trump dalam pernyataannya menyebut bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri AS dari "eksploitasi perdagangan" yang dilakukan China.

Sentimen Risk-Off Bayangi Pasar Negara Berkembang

Efek domino dari perang dagang ini langsung terasa di pasar keuangan global. Ketidakpastian meningkat tajam, dan pelaku pasar mulai beralih ke aset-aset aman seperti dolar AS dan emas. Fenomena ini disebut sebagai sentimen risk-off, yaitu ketika investor menarik dana dari aset berisiko tinggi di negara berkembang untuk dialihkan ke aset aman di negara maju.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang paling banyak menarik investasi portofolio, ikut terdampak oleh aliran modal keluar. Akibatnya, permintaan terhadap rupiah menurun, sementara permintaan terhadap dolar AS meningkat, memicu depresiasi nilai tukar.

“Ini bukan soal fundamental ekonomi Indonesia yang buruk, tapi murni karena faktor eksternal yang sangat kuat,” tambah Lukman.

Proyeksi Hari Ini: Rentang Rp 16.750–Rp 16.950 per Dolar AS

Dalam proyeksinya, Lukman memperkirakan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS kemungkinan akan terus berlanjut dalam rentang Rp 16.750 hingga Rp 16.950 per dolar AS sepanjang hari ini. Jika tekanan sentimen global terus berlangsung, maka tak tertutup kemungkinan nilai tukar menembus level psikologis Rp 17.000 per dolar dalam waktu dekat.

Kondisi ini menjadi perhatian serius, mengingat nilai tukar yang terlalu lemah dapat berdampak pada inflasi, terutama untuk barang-barang impor dan kebutuhan pokok yang bahan bakunya didatangkan dari luar negeri.

Pemerintah dan BI Diminta Waspada

Di tengah pelemahan ini, perhatian kini tertuju kepada langkah-langkah yang akan diambil oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintah. Sejauh ini, BI diketahui tetap melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas kurs rupiah. Namun, jika tekanan dari luar negeri terus meningkat, diperlukan strategi jangka menengah agar tidak hanya bergantung pada cadangan devisa.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengingatkan agar pemerintah bersikap realistis dalam menghadapi gejolak global.

“Perang dagang ini bisa berlangsung dalam jangka panjang. Kalau kita hanya bertahan dengan intervensi sesaat, cadangan devisa bisa terkuras. Harus ada kebijakan fiskal dan moneter yang selaras,” ujar Faisal.

Selain intervensi pasar, BI juga diharapkan tetap berhati-hati dalam menentukan suku bunga acuannya. Kenaikan suku bunga memang bisa memperkuat rupiah, tetapi di sisi lain dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik.

Dampak Langsung ke Konsumen dan Dunia Usaha

Pelemahan rupiah yang terus-menerus tentu membawa konsekuensi ke sektor riil. Harga bahan baku impor diperkirakan naik, termasuk di sektor industri manufaktur, farmasi, dan teknologi. Konsumen pun tak luput dari dampaknya, terutama untuk barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, hingga produk rumah tangga yang berbasis impor.

Di sektor UMKM yang sangat bergantung pada bahan baku impor, tekanan ini bisa membuat harga jual produk naik, dan dalam jangka panjang dapat menurunkan daya saing.

Pengusaha ritel mengaku mulai bersiap melakukan penyesuaian harga dalam beberapa bulan ke depan jika tren depresiasi rupiah tidak mereda. Hal serupa juga disampaikan oleh asosiasi importir bahan pangan, yang menyebut biaya logistik dan pembelian luar negeri telah meningkat dalam dua pekan terakhir.

Apakah Rupiah Akan Kembali Menguat?

Dalam skenario jangka pendek, analis melihat peluang penguatan rupiah sangat terbatas. Selama ketidakpastian global terus berlangsung, terutama terkait kebijakan tarif dan perang dagang, maka pasar akan tetap diliputi kecemasan. Apalagi jika The Fed (bank sentral AS) tetap mempertahankan suku bunga tinggi, maka arus dana cenderung lebih memilih dolar AS sebagai aset lindung nilai.

Namun, jika terdapat sinyal positif dari hubungan dagang AS–China atau respons dari negara-negara G20 untuk meredam konflik perdagangan, maka stabilitas nilai tukar bisa kembali terbentuk.

Di sisi lain, fundamental ekonomi Indonesia sejauh ini masih cukup kuat, dengan pertumbuhan ekonomi stabil di atas 5 persen, inflasi terkendali, dan neraca perdagangan masih mencatat surplus. Faktor-faktor ini seharusnya menjadi fondasi untuk menjaga kepercayaan investor terhadap Indonesia.

Rupiah dalam Tekanan Global

Pelemahan rupiah ke level Rp 16.958 per dolar AS menjadi alarm bagi pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi di Tanah Air. Meski dipicu oleh faktor eksternal seperti meningkatnya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dampaknya sangat nyata terhadap perekonomian domestik.

Langkah-langkah antisipatif dari Bank Indonesia dan pemerintah menjadi kunci untuk menahan gejolak lebih lanjut. Masyarakat dan pelaku usaha diimbau untuk tetap tenang, namun juga bersiap menghadapi potensi lonjakan harga dalam waktu dekat jika rupiah terus berada di bawah tekanan.

Dalam dunia global yang saling terhubung, satu pernyataan dari tokoh politik luar negeri seperti Donald Trump bisa berimbas besar bagi nilai mata uang sebuah negara. Dan hari ini, rupiah menjadi salah satu korbannya.

Artikel ini sudah tayang di VIVA.co.id pada hari Rabu, 9 April 2025 - 09:31 WIB
Judul Artikel : Rupiah Semakin Anjlok Rp 16.958 per Dolar AS, Imbas Perang Dagang Trump
Link Artikel : https://www.viva.co.id/bisnis/1813065-rupiah-semakin-anjlok-rp-16-958-per-dolar-as-imbas-perang-dagang-trump
Oleh : Edwin Firdaus, Anisa Aulia