Dominasi Singapura sebagai Pusat Data Center di Asia Tenggara Mulai Tergeser, Bagaimana Peluang Indonesia?

Data Center
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Singapura selama ini dikenal sebagai pusat data center terkemuka di Asia Tenggara. Dengan lokasi strategis, infrastruktur kelas dunia, dan stabilitas politik yang tak diragukan, negara kecil ini telah menjadi magnet bagi perusahaan global yang membutuhkan pusat penyimpanan data. Namun, status ini kini berada di bawah ancaman. Berbagai tantangan mulai muncul, dari keterbatasan sumber daya hingga kebijakan yang membatasi kapasitas pembangunan data center baru. Di saat yang sama, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia kian menarik perhatian investor dengan menawarkan lingkungan bisnis yang lebih fleksibel dan potensi pertumbuhan yang besar.

Perspektif Stoicisme Zeno: Hidup Selaras dengan Alam, Kunci Kebahagiaan Sejati di Tengah Tantangan Modern

Data Center: Fondasi Teknologi Modern

Data center adalah komponen esensial dari ekonomi digital. Hampir semua aktivitas teknologi modern, seperti layanan cloud, e-commerce, streaming video, hingga pengolahan data berbasis kecerdasan buatan (AI), bergantung pada infrastruktur ini. Singapura, dengan konektivitas internet yang luar biasa dan kemudahan bisnisnya, telah menjadi destinasi utama bagi perusahaan teknologi global selama bertahun-tahun.

Dinamika Ekonomi Digital di Era Informasi: Perspektif Manuel Castells

Namun, ledakan kebutuhan data center di seluruh dunia telah menciptakan tekanan besar pada Singapura. Menurut laporan yang dikutip dari Tampang.com, Singapura saat ini menguasai sekitar 60% kapasitas data center di Asia Tenggara. Dominasi ini menjadi tonggak penting dalam upaya negara itu mempertahankan daya saingnya di tengah transformasi digital global. Tetapi, beberapa masalah struktural membuat dominasi tersebut tidak lagi terjamin.

Keterbatasan Lahan dan Energi

Permintaan Data Center di ASEAN: Malaysia dan Indonesia Jadi Pusat Perhatian Dunia Teknologi

Sebagai negara dengan luas hanya 728 kilometer persegi, Singapura menghadapi kendala serius terkait lahan untuk ekspansi. Data center membutuhkan area yang luas untuk menampung peralatan canggih dan sistem pendingin. Dengan ruang terbatas, Singapura memiliki pilihan yang sangat sedikit untuk mengakomodasi kebutuhan industri yang terus berkembang ini.

Selain itu, data center adalah konsumen energi yang sangat besar. Di Singapura, diperkirakan data center menghabiskan sekitar 7% dari total kebutuhan energi negara. Hal ini tidak sejalan dengan upaya global untuk menekan emisi karbon. Akibatnya, sejak 2020 pemerintah Singapura menerapkan moratorium pada pembangunan data center baru. Kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol konsumsi energi, tetapi pada saat yang sama menciptakan hambatan bagi pertumbuhan industri.

Halaman Selanjutnya
img_title