Mengapa Indonesia Masih Bergantung pada Impor Jagung: Menyibak Mafia yang Mengendalikan Pasar
- Wikipedia
Jakarta, WISATA - Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan subur dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, seharusnya mampu swasembada pangan, terutama komoditas jagung. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Hingga saat ini, Indonesia masih bergantung pada impor jagung dalam jumlah yang signifikan. Kondisi ini mengundang banyak pertanyaan, terutama mengapa negara dengan potensi agraria yang besar belum mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Salah satu alasan utamanya adalah adanya pengaruh mafia impor yang memainkan peran besar dalam mengendalikan pasar jagung.
Impor Jagung yang Terus Meningkat
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor jagung Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, Indonesia mengimpor sekitar 800.000 ton jagung. Hal ini jelas memicu kekhawatiran, terutama di kalangan petani lokal yang merasa terpinggirkan akibat masuknya jagung impor dengan harga lebih murah.
Mengapa Indonesia masih mengimpor jagung? Faktor utama yang mempengaruhi adalah ketidakmampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan, terutama dari industri pakan ternak yang menyerap sekitar 70% kebutuhan jagung. Walaupun produksi jagung dalam negeri meningkat, pertumbuhan tersebut belum sebanding dengan peningkatan permintaan.
Pengaruh Mafia Impor dalam Industri Jagung
Salah satu alasan utama mengapa Indonesia terus bergantung pada impor adalah adanya mafia impor yang berperan dalam mengatur kuota impor dan distribusi jagung di pasar domestik. Mereka memanfaatkan kebijakan impor untuk keuntungan pribadi, sehingga harga jagung impor dapat diatur sedemikian rupa, sementara petani lokal menghadapi tantangan besar dalam menjual produk mereka dengan harga yang kompetitif.
Mafia impor ini bekerja dengan cara mendapatkan akses eksklusif ke izin impor, yang kemudian digunakan untuk memasok jagung impor ke pasar domestik dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar lokal. Hal ini jelas merugikan petani lokal, yang harus bersaing dengan jagung impor yang lebih murah dan seringkali berkualitas lebih rendah.