Socrates vs. Demokrasi Athena: Analisis Kritik Pedas Sang Filsuf terhadap Pemerintahan Rakyat

Socrates dan Plato
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Socrates, seorang filsuf yang dikenal karena pemikiran kritis dan metode dialektisnya, tidak hanya menginspirasi generasi pemikir setelahnya, tetapi juga menjadi sosok kontroversial di zamannya. Salah satu pandangan yang paling mencengangkan dan memicu perdebatan adalah kritiknya terhadap demokrasi Athena. Dalam pandangan Socrates, demokrasi—yang oleh banyak orang dianggap sebagai puncak kebebasan politik—memiliki kelemahan mendasar yang berpotensi menghancurkan masyarakat. Mengapa Socrates begitu menentang sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan kepada rakyat, dan apa dampaknya bagi kehidupan politik Athena?

Kebahagiaan Menurut Socrates: Apa yang Dicari Banyak Orang Tapi Tak Pernah Ditemukan?

Pandangan Socrates terhadap Demokrasi Athena

Demokrasi Athena adalah bentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Warga laki-laki yang sudah dewasa memiliki hak suara dalam segala hal, mulai dari hukum hingga kebijakan militer. Meski tampak ideal, bagi Socrates, sistem ini menyimpan kelemahan besar. Ia melihat demokrasi sebagai sebuah eksperimen politik yang tidak stabil karena menyerahkan kekuasaan kepada orang banyak tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki pengetahuan yang memadai.

Mengapa Socrates Percaya Kebahagiaan Hanya Bisa Dicapai Lewat Kebajikan, Bukan Kekayaan?

Menurut Socrates, demokrasi membuka jalan bagi ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mempengaruhi keputusan penting. Ia berpendapat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan atau kebijaksanaan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang baik bagi negara. Dalam pandangannya, orang banyak sering kali terjebak dalam emosi, retorika kosong, dan manipulasi, yang membuat keputusan mereka rentan terhadap kesalahan.

Kritik Socrates: Mengapa Demokrasi Bukan Solusi?

Socrates: Rahasia Kebahagiaan Sejati yang Tak Tergantung pada Harta dan Kekuasaan

Salah satu analogi terkenal Socrates dalam mengkritik demokrasi adalah perumpamaannya tentang sebuah kapal. Bayangkan sebuah kapal yang harus berlayar di tengah badai. Siapa yang lebih pantas mengemudikan kapal itu—para penumpang yang tidak memiliki pengetahuan navigasi, atau seorang kapten berpengalaman yang tahu betul arah dan cara menghadapi badai? Socrates menganggap bahwa menyerahkan kekuasaan kepada massa sama seperti membiarkan kapal dikemudikan oleh orang-orang yang tidak tahu caranya.

Dalam pandangannya, memilih pemimpin bukanlah perkara sederhana yang bisa diserahkan pada siapa saja. Proses pemilihan seharusnya didasarkan pada kapasitas, integritas, dan pengetahuan, bukan sekadar popularitas atau kemampuan berbicara yang memukau. Demokrasi, menurut Socrates, sering kali gagal karena lebih menghargai retorika dan kesan daripada kebijaksanaan sejati.

Bahaya Retorika dan Manipulasi Massa

Socrates juga sangat khawatir terhadap pengaruh retorika dalam demokrasi. Retorika adalah seni berbicara yang mampu membujuk dan mempengaruhi pendapat orang banyak. Dalam sistem demokrasi, pemimpin yang pandai berbicara dan bermain kata sering kali lebih mudah terpilih, meskipun mungkin tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang diperlukan. Para orator yang mahir dapat membujuk rakyat untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang justru merugikan mereka dalam jangka panjang.

Socrates menyoroti bahwa populisme, yang sangat bergantung pada retorika dan janji-janji manis, menjadi ancaman nyata bagi demokrasi. Pemimpin yang lebih mementingkan popularitas daripada kebenaran cenderung membuat keputusan yang tidak rasional, karena tujuannya hanyalah mempertahankan kekuasaan, bukan kebaikan bersama.

Mengapa Socrates Diadili?

Pandangan kritis Socrates terhadap demokrasi tidak hanya menjadi bahan perdebatan filosofis, tetapi juga mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Pada tahun 399 SM, Socrates dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan merusak pemuda dan menentang dewa-dewa yang diakui oleh negara. Banyak sejarawan berpendapat bahwa tuduhan ini sebenarnya adalah akibat dari pandangan politiknya yang sering kali berseberangan dengan kepentingan para pemimpin Athena.

Socrates dianggap sebagai ancaman bagi tatanan sosial karena kritiknya yang tajam terhadap cara pemerintahan berjalan. Ia tidak segan-segan menantang para politisi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, dan mengkritik ketidaktahuan mereka di depan umum. Keberanian Socrates untuk berbicara tanpa kompromi membuat banyak orang berkuasa merasa tidak nyaman dan terancam, yang pada akhirnya berujung pada keputusan untuk menghukumnya.

Mengapa Socrates Menganggap Kebijaksanaan Lebih Penting dari Suara Mayoritas?

Socrates percaya bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah suara, tetapi oleh kedalaman pemahaman dan argumen yang rasional. Demokrasi, dalam pandangan Socrates, sering kali mengabaikan aspek penting ini. Ia menekankan bahwa kepemimpinan dan pengambilan keputusan haruslah didasarkan pada kebijaksanaan dan keahlian, bukan pada kepentingan jangka pendek atau pandangan mayoritas yang sering kali tidak teredukasi dengan baik.

Dalam dunia yang kompleks, Socrates berpendapat bahwa memerintah tidak hanya soal memiliki hak, tetapi juga tanggung jawab besar untuk memahami isu-isu mendasar yang dihadapi masyarakat. Tanpa pendidikan dan pemahaman yang memadai, rakyat bisa dengan mudah termanipulasi oleh pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Kritik Socrates dalam Konteks Demokrasi Modern

Meskipun kritik Socrates berasal dari zaman kuno, relevansinya dengan demokrasi modern tetap terasa. Banyak negara demokrasi saat ini masih bergulat dengan masalah populisme, pemilih yang kurang teredukasi, dan pemimpin yang lebih pandai berpidato daripada memerintah dengan baik. Pandangan Socrates mengingatkan kita bahwa demokrasi yang sehat bukan hanya soal memberikan hak suara, tetapi juga memastikan bahwa suara yang diberikan adalah hasil dari pemikiran kritis dan pemahaman yang baik.

Socrates mendorong kita untuk terus mempertanyakan, mengevaluasi, dan mendidik diri dalam urusan politik. Hanya dengan cara inilah, kita dapat menghindari jebakan retorika kosong dan memastikan bahwa demokrasi benar-benar bekerja untuk kebaikan bersama, bukan sekadar menjadi alat untuk mencapai kekuasaan.

Warisan Socrates: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Socrates meninggalkan warisan penting bagi demokrasi, yaitu tantangan untuk tidak pernah berhenti bertanya dan mempertanyakan. Demokrasi tidak boleh dianggap sebagai sistem yang sempurna dan kebal dari kritik. Justru sebaliknya, demokrasi harus terus diawasi dan dikoreksi agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama yang dikritik Socrates.

Pada akhirnya, kritik Socrates terhadap demokrasi Athena bukanlah sekadar penolakan terhadap sistem, melainkan sebuah ajakan untuk lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menjalankan hak-hak kita sebagai warga negara. Dalam setiap pilihan yang kita buat, kita ditantang untuk tidak hanya mengikuti arus, tetapi juga mencari kebenaran dan kebijaksanaan yang lebih dalam.