INFO HAJI: Aturan Badal Bagi Orang yang Meninggal Dunia atau Tidak Mampu Secara Fisik atau Finansia

Jemaah Haji sedang Tawaf di Ka'bah
Sumber :
  • pexels

Wisata – Menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat muslim yang sudah memenuhi syarat-syarat tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran:

Pesawat Jemaah Haji Gowa Kembali Mendarat, JCH Ucap Terima Kasih atas Doa

 Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam." (QS. Ali Imran: 97).

 Ibadah haji adalah perjalanan menuju Makkah untuk melakukan Tawaf, Sa'i, Wukuf atau berdiam di Arafah serta ibadah-ibadah lainnya yang sesuai tuntunan agama Islam. Ibadah ini hanya diwajibkan sekali seumur hidup, apabila mampu secara fisik maupun finansial.

Pesawat Garuda Angkut Jemaah Haji Kembali Mendarat, Bagian Mesin Terbakar

Jika ada seseorang yang mampu secara fisik dan finansial terhalang melaksanakan ibadah haji hingga ajal menjemput atau karena uzur sehingga tidak bisa menjalankan ibadah haji, maka kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh orang lain, bisa dilakukan oleh anak atau sanak keluarganya atau orang lain yang bisa dipercaya.

Menghajikan orang yang sudah meninggal atau orang yang sudah tidak mampu melaksanakan karena uzur, dinamakan badal haji. Ada perbedaan pandangan di kalangan ahli fiqih terkait masalah badal haji.

INFO HAJI 2024: Keppres Biaya Haji 1445 H Terbit, Ini Besarannya

Dalam hal ini, dilansir dari bahtsul masail NU mengenai hukum menghajikan orang tua yang sudah wafat, mazhab Syafii  menyatakan orang yang menjadi badal atau menggantikan haji orang lain, termasuk orang tuanya yang telah wafat disyaratkan sudah berhaji terlebih dahulu bagi dirinya sendiri. Bila ia belum berhaji, maka tidak cukup atau tidak boleh untuk menggantikan haji orang lain, 

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ: مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ: أَخٌ  أَوْ قَرِيبٌ لِيْ. قَالَ: حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. رواه أبو داود والدار قطني والبيهقي وغيرهم باسانيد صحيحة

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sungguh Nabi saw mendengar seorang lelaki membaca talbiyah: ‘Laibaika dari Syubrumah.’ Beliau pun meresponnya dengan bertanya: ‘Siapa Syubrumah?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Saudara atau kerabatku.’ Nabi tanya lagi: ‘Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?’ Orang itu menjawab: ‘Belum.’ Nabi pun bersabda: 'Hajilah untuk dirimu sendiri, kemudian baru haji untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan selainnya dengan sanad shahih).

Dari hadits inilah, mazhab Syafi’i menyatakan bahwa orang yang belum haji tidak boleh mengganti haji orang lain. Bila ia nekat melakukannya, maka otomatis ibadah haji yang dilakukan menjadi haji bagi dirinya. Pendapat seperti ini juga menjadi pendapat Ibnu Abbas ra, al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ishaq, sebagaimana terdapat dalam kitab karangan Imam An Nawawi, Al-Majmû’ Syahrul Muhaddzab, juz VII, halaman 117-118