FOMO di Era Kebudayaan Pop: Keinginan Tak Ingin Ketinggalan Boneka, Liburan, dan Konser

YOLO, FOMO, FOPO
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Jakarta, WISATA - Fenomena FOMO atau Fear of Missing Out telah menjadi kekuatan besar yang membentuk cara masyarakat Indonesia menikmati kebudayaan pop. Di tengah gempuran tren baru yang terus bermunculan, rasa takut ketinggalan ini memengaruhi segala aspek, mulai dari koleksi boneka edisi terbatas hingga tiket konser yang sulit didapatkan.

FOMO: Cerminan Era Digital

FOMO pertama kali populer di era digital, di mana media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi panggung utama untuk berbagi pengalaman. Di Indonesia, dengan lebih dari 212 juta pengguna internet pada tahun 2024 (laporan dari APJII), FOMO menjadi fenomena yang semakin mengakar, terutama di kalangan generasi muda.

Ketika seseorang melihat unggahan teman yang menikmati konser atau memamerkan koleksi boneka unik, dorongan untuk "tidak mau kalah" sering kali muncul. FOMO inilah yang mendorong orang untuk ikut serta dalam tren, sekalipun harus mengorbankan waktu atau biaya yang tidak sedikit.

Boneka: Dari Tren Koleksi hingga Simbol Status

Salah satu contoh nyata FOMO adalah popularitas boneka edisi terbatas. Di Indonesia, tren ini dipicu oleh kehadiran brand-brand internasional seperti Barbie, Funko Pop, dan Tsum Tsum. Bahkan, koleksi boneka lokal seperti karakter Javanese Doll juga ikut mendapatkan sorotan.

Laporan dari Tokopedia pada tahun 2024 mencatat peningkatan penjualan boneka hingga 35% selama promosi "edisi spesial." Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh FOMO dalam memotivasi pembelian impulsif. Tidak hanya itu, boneka kini dianggap sebagai simbol status, terutama bagi kolektor yang bangga memamerkan koleksi unik mereka di media sosial.