JOMO: Wisata Tanpa Stres di Era Kebangkitan Etnaprana dan Stoicisme

Menikmati Wisata JOMO di Nusa Penida
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Malang, WISATA - Dalam dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, istilah JOMO (Joy of Missing Out) mulai mencuri perhatian. Berbeda dengan FOMO (Fear of Missing Out) yang sering memaksa kita untuk terlibat dalam setiap acara sosial, JOMO menawarkan sebuah kebebasan: sebuah kesempatan untuk menikmati momen tanpa rasa khawatir tentang apa yang mungkin kita lewatkan. Konsep ini, yang berakar pada ketenangan jiwa, kini semakin relevan di tengah kebangkitan Etnaprana dan pemikiran stoicisme dalam pariwisata.

Memahami JOMO dalam Konteks Wisata

JOMO bukan sekadar tren; ini adalah perubahan paradigma dalam cara kita memandang liburan. Banyak wisatawan kini beralih dari perjalanan yang padat dengan aktivitas menuju pengalaman yang lebih mendalam dan menenangkan. Wisata dengan prinsip JOMO berarti memilih untuk beristirahat, menikmati keindahan alam, serta menghabiskan waktu dengan diri sendiri tanpa gangguan dari dunia luar.

Hal ini sejalan dengan konsep Etnaprana, sebuah pendekatan yang menekankan pentingnya hubungan manusia dengan alam dan kearifan lokal. Etnaprana mengajak kita untuk merasakan keindahan dalam kesederhanaan, menghargai proses, dan menemukan makna dalam pengalaman. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, Etnaprana memberikan alternatif bagi para wisatawan untuk kembali ke akar budaya dan alam.

Kebangkitan Stoicisme dalam Pariwisata

Sementara itu, stoicisme—sebuah filosofi kuno yang mengajarkan penerimaan dan ketenangan—kembali mendapatkan perhatian. Dalam konteks perjalanan, stoicisme mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam harapan yang berlebihan atau rasa cemas tentang apa yang akan datang. Dengan mengadopsi pandangan stoik, para pelancong dapat menikmati setiap momen perjalanan dengan lebih tenang, menerima segala sesuatunya apa adanya.

Kombinasi antara JOMO, Etnaprana, dan stoicisme menciptakan sebuah tren wisata yang fokus pada pengalaman internal dan emosional. Wisatawan tidak lagi terobsesi untuk mengunjungi setiap tempat wisata populer, tetapi lebih memilih untuk meresapi keindahan alam, belajar dari budaya lokal, dan berinteraksi dengan komunitas.