Titik Temu dan Persimpangan Konsepsi Keadilan Menurut Filsuf Muslim, Yunani, dan China

Para Filsuf Yunani dan Romawi Kuno
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Mencius: Mencius menekankan keadilan sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap rakyat dari penindasan. Ia percaya bahwa penguasa hanya sah jika mereka bertindak adil dan bermoral, sesuai dengan "Mandat Surga".

Laozi: Laozi melihat keadilan sebagai keselarasan dengan "Tao" (Jalan). Menurutnya, keadilan adalah keadaan di mana segala sesuatu berada pada tempatnya dan berfungsi sesuai dengan hukum alam. Ia mengajarkan prinsip "wu wei" (non-intervensi), yang berarti tidak bertindak secara berlebihan.

Titik Temu dan Persimpangan

Titik Temu:

  1. Moralitas dan Kebajikan: Semua filsuf dari ketiga tradisi sepakat bahwa keadilan berkaitan erat dengan moralitas dan kebajikan. Keadilan dianggap sebagai salah satu kebajikan tertinggi yang harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.
  2. Kesejahteraan Sosial: Keadilan dilihat sebagai dasar untuk kesejahteraan sosial. Baik filsuf Yunani, Muslim, maupun China menekankan pentingnya keadilan dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
  3. Pemerintahan yang Adil: Ketiga tradisi menekankan bahwa pemerintah harus adil dan bertindak untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin yang adil adalah yang mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Persimpangan:

  1. Pendekatan Metafisik: Laozi dan beberapa filsuf Muslim seperti Al-Ghazali menghubungkan keadilan dengan konsep metafisik dan spiritual, seperti keselarasan dengan Tao atau ketaatan kepada Allah. Sementara itu, filsuf Yunani seperti Aristoteles lebih fokus pada aspek rasional dan pragmatis dari keadilan.
  2. Hak Asasi vs. Tanggung Jawab Sosial: Mencius dan beberapa filsuf Muslim menekankan pentingnya hak asasi manusia dalam keadilan, sementara Konfusius dan Laozi lebih menekankan pada tanggung jawab sosial dan harmoni dalam hubungan antarmanusia.