“Bersyukurlah atas Apa yang Kamu Miliki, Tetapi Jangan Menjadi Budak Keinginan yang Tak Berujung” – Massimo Pigliucci

Massimo Pigliucci
Massimo Pigliucci
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Di tengah dunia yang penuh tawaran, diskon, dan iklan yang menyilaukan, kita sering kali terjebak dalam siklus “ingin dan ingin lagi.” Begitu satu keinginan terpenuhi, muncul lagi yang lain. Kita bekerja lebih keras bukan untuk kebutuhan, tapi demi hasrat yang tak ada habisnya. Di sinilah suara bijak Massimo Pigliucci, filsuf Stoik modern, mengingatkan kita:

“Bersyukurlah atas apa yang kamu miliki, tetapi jangan menjadi budak keinginan yang tak berujung.”

Kutipan ini terdengar sederhana, namun menggugah. Dalam satu kalimat, Pigliucci menyentuh inti dari krisis modern: kita lupa bersyukur dan terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan belum tentu kita butuhkan.

Filosofi Stoik yang Menantang Budaya Konsumtif

Massimo Pigliucci adalah salah satu tokoh yang berperan besar dalam menghidupkan kembali ajaran Stoikisme, filsafat kuno yang mengajarkan tentang kebijaksanaan, ketenangan, dan hidup sesuai dengan kebajikan. Dalam pandangan Stoik, kebahagiaan tidak datang dari memiliki banyak, tetapi dari menghargai apa yang sudah ada.

Sayangnya, dunia saat ini—terutama media sosial—sering mempromosikan hal sebaliknya. Kita melihat pencapaian orang lain, gaya hidup mewah, dan daftar barang "yang harus dimiliki" setiap hari. Akibatnya, kita mudah merasa kurang, seolah-olah kebahagiaan ada di ujung pembelian berikutnya. Padahal, seperti yang dikatakan Pigliucci, ketidakpuasan itu tidak akan pernah selesai jika kita terus menuruti keinginan tanpa refleksi.

Bersyukur: Seni yang Mulai Dilupakan

Bersyukur bukan hanya tentang mengucapkan terima kasih, tetapi tentang menyadari bahwa apa yang kita miliki hari ini adalah sesuatu yang dulu kita impikan. Rumah, pekerjaan, keluarga, bahkan waktu luang—semua itu sering kali kita anggap biasa, sampai saat kita kehilangannya.

Pigliucci menyarankan agar kita melatih rasa syukur secara sadar. Dalam praktik Stoik, ini bisa dilakukan dengan refleksi harian: tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang hari ini bisa aku syukuri?” Latihan ini tidak hanya membentuk karakter, tetapi juga menenangkan batin. Kita menjadi lebih bahagia, bukan karena hidup lebih mudah, tetapi karena kita tidak lagi membandingkan diri dengan orang lain setiap saat.

Keinginan yang Tak Pernah Usai: Penjara Tak Kasat Mata

Masalah terbesar dari keinginan adalah sifatnya yang selalu tumbuh. Kita membeli ponsel baru, sebentar kemudian merasa tertinggal karena ada model yang lebih canggih. Kita mencapai target karier, tapi merasa belum puas karena belum sehebat orang lain. Inilah yang disebut Pigliucci sebagai “budak keinginan.”

Filsafat Stoik menawarkan jalan keluar: belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan membuat kita hidup, sementara keinginan bisa membuat kita kehilangan arah hidup. Bukan berarti kita tidak boleh bermimpi atau mengejar sesuatu yang lebih baik. Tapi pertanyaannya: apakah keinginan itu membuat kita lebih bijak? Atau justru lebih cemas dan serakah?

Hidup Minimalis ala Stoik: Bukan Soal Jumlah, Tapi Makna

Pigliucci tidak sekadar menyuruh kita untuk tidak berkeinginan. Ia mendorong kita untuk hidup dengan kesadaran penuh. Dalam bukunya How to Be a Stoic, ia menulis bahwa orang Stoik sejati tidak anti-kemajuan, tetapi tahu kapan cukup adalah cukup. Filosofi ini sangat cocok dengan gerakan minimalisme modern—hidup dengan sedikit, tapi penuh makna.

Dengan hidup sederhana, kita jadi lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting: waktu bersama orang terkasih, kesehatan fisik dan mental, serta kontribusi kita kepada masyarakat. Semua itu jauh lebih bernilai daripada daftar keinginan yang tidak pernah selesai.

Cara Praktis Menerapkan Pesan Pigliucci

Berikut beberapa langkah sederhana untuk menjalankan pesan bijak ini dalam kehidupan sehari-hari:

1.     Latihan Syukur Harian: Catat tiga hal yang kamu syukuri setiap malam.

2.     Tunda Keinginan: Ketika ingin membeli sesuatu, tunggu tiga hari. Masih butuh? Atau hanya impuls sesaat?

3.     Detoks Media Sosial: Kurangi waktu menonton konten konsumtif. Ganti dengan bacaan atau aktivitas produktif.

4.     Evaluasi Keinginan: Tanyakan pada diri sendiri: apakah ini benar-benar penting untuk hidupku, atau hanya karena orang lain punya?

Hidup dengan Kesadaran, Bukan Dorongan

Massimo Pigliucci tidak pernah memaksa kita menjadi asketik atau menghindari dunia. Ia hanya mengajak kita untuk hidup lebih sadar—tidak dikendalikan oleh iklan, tren, atau tekanan sosial. Karena pada akhirnya, kebebasan sejati bukan ketika kita memiliki segalanya, tapi saat kita tidak dikuasai oleh apa pun.

Jadi, hari ini mari kita berhenti sejenak. Lihat sekitar, dan sadari: kita sudah memiliki begitu banyak untuk disyukuri. Jangan biarkan keinginan yang tak pernah puas merampas kedamaian yang bisa kita rasakan saat ini juga.