Relativisme Kebenaran ala Kaum Sofis: Apakah Masih Relevan di Era Digital?
- Handoko/istimewa
Jakarta, WISATA - Dalam sejarah filsafat Yunani kuno, kaum sofis dikenal sebagai pemikir yang mempopulerkan gagasan bahwa kebenaran bersifat relatif. Salah satu tokoh utama mereka, Protagoras, pernah menyatakan, “Manusia adalah ukuran segala sesuatu.” Ungkapan ini menegaskan pandangan bahwa apa yang benar atau salah, baik atau buruk, tergantung pada sudut pandang individu atau kelompok tertentu.
Namun, gagasan kaum sofis tentang relativisme kebenaran memicu kontroversi di kalangan filsuf lainnya, termasuk Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang percaya pada kebenaran universal. Dalam dunia modern yang dipenuhi dengan informasi yang melimpah, perdebatan tentang relativisme kebenaran tetap relevan. Apakah kita dapat mengandalkan konsep ini di era digital, atau justru harus mewaspadai dampaknya?
Kaum Sofis dan Relativisme Kebenaran
Kaum sofis muncul di Yunani sekitar abad ke-5 SM sebagai guru yang mengajarkan seni retorika, debat, dan persuasi kepada masyarakat Athena. Mereka percaya bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan dapat disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan individu.
Bagi kaum sofis, kemampuan untuk membangun argumen yang meyakinkan lebih penting daripada mencari kebenaran objektif. Mereka melihat dunia sebagai arena tempat berbagai sudut pandang bersaing, dan kebenaran ditentukan oleh siapa yang memiliki argumen paling kuat.
Misalnya, dalam pandangan kaum sofis, hukum dan moralitas adalah hasil kesepakatan masyarakat dan tidak memiliki dasar universal. Pandangan ini membuat mereka dianggap sebagai pragmatis, tetapi juga menuai kritik karena dianggap mengabaikan nilai-nilai moral yang lebih tinggi.