Mengapa Iliad dan Odyssey Tetap Relevan di Era Modern? Temukan Jawabannya di Sini

- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Di tengah dunia yang serba digital, cepat, dan penuh distraksi, siapa sangka dua puisi kuno dari Yunani bisa tetap bertahan dan terus dibaca hingga hari ini? Iliad dan Odyssey, dua mahakarya epik karya Homer yang ditulis sekitar abad ke-8 SM, tak pernah kehilangan tempatnya dalam jagat sastra dan budaya global. Keduanya bukan sekadar karya sastra klasik—mereka adalah jendela menuju pemahaman terdalam tentang manusia, masyarakat, dan perjuangan hidup.
Apa yang membuat Iliad dan Odyssey tetap relevan, bahkan setelah lebih dari dua ribu tahun? Jawabannya terletak pada kekuatan naratif, nilai-nilai universal, dan kemampuan Homer dalam menggambarkan konflik, emosi, dan pencarian jati diri yang sangat manusiawi.
1. Cerita tentang Manusia, Bukan Hanya Mitologi
Meskipun dipenuhi dengan dewa-dewa Yunani dan unsur mitologi, Iliad dan Odyssey sejatinya berbicara tentang manusia. Dalam Iliad, kita bertemu dengan Achilles, sosok pahlawan yang luar biasa kuat, tetapi juga penuh amarah, kekecewaan, dan keraguan. Dalam Odyssey, kita mengikuti perjalanan panjang Odysseus, seorang suami dan ayah yang rindu pulang, tetapi harus menghadapi rintangan demi rintangan.
Keduanya adalah potret kompleks tentang diri manusia—tidak sempurna, penuh luka, tetapi terus berjuang. Bukankah itu juga yang kita rasakan dalam kehidupan modern?
2. Nilai-Nilai yang Abadi
Tema-tema dalam Iliad dan Odyssey tidak terikat oleh waktu. Kita menemukan cerita tentang cinta, kesetiaan, kehormatan, kehilangan, pengorbanan, dan perjuangan melawan nasib. Inilah nilai-nilai yang masih relevan dalam setiap era.
Penelope, istri Odysseus, menjadi lambang kesetiaan dan keteguhan hati seorang perempuan dalam menghadapi ketidakpastian. Sementara Achilles, dalam kemarahannya, justru mengajarkan bahwa bahkan pahlawan terkuat pun bisa hancur oleh emosinya sendiri.
3. Kritik Sosial dan Moral
Dalam Iliad, kita melihat bagaimana harga diri dan keangkuhan para pemimpin bisa menyebabkan kehancuran. Konflik antara Achilles dan Agamemnon bukan sekadar pertengkaran personal, tapi gambaran tentang egoisme dalam kepemimpinan.
Begitu pula Odyssey mengingatkan kita tentang godaan kekuasaan dan ketidakseimbangan moral. Ketika Odysseus berhasil melewati Siren dan melawan para dewa, ia tidak hanya menaklukkan dunia luar, tapi juga dirinya sendiri.
Homer menyampaikan kritik sosial dengan lembut, melalui kisah yang mengalir dalam bait-bait puisi. Dan inilah kekuatan sastra: menyentuh tanpa menggurui.
4. Sumber Inspirasi Tak Terbatas
Banyak karya sastra modern, film, hingga serial televisi terinspirasi oleh struktur dan cerita dalam Iliad dan Odyssey. Film seperti Troy (2004), novel seperti The Song of Achilles oleh Madeline Miller, hingga Ulysses karya James Joyce, semuanya merujuk pada Homer.
Bahkan dalam budaya populer, kita bisa menemukan jejak dari kisah ini: pahlawan yang berjuang untuk pulang, dilema antara kehormatan dan cinta, serta perjalanan panjang untuk menemukan makna hidup.
5. Bahasa yang Indah dan Simbolik
Meski dalam terjemahan, keindahan bahasa puisi Homer tetap terasa. Iliad dibuka dengan baris legendaris, “Nyanyikan, wahai Dewi, kemarahan Achilles…”—sebuah kalimat yang membawa kita langsung ke dalam konflik emosional yang akan menjadi inti cerita.
Sementara Odyssey memperkenalkan kita pada dunia petualangan dan ujian batin, bukan hanya melalui tindakan, tetapi juga refleksi filosofis dan kontemplasi mendalam.
Bahasa dalam dua karya ini tidak hanya menceritakan, tapi juga mengajak kita merenung.
6. Relevan untuk Generasi Z dan Milenial
Di era media sosial dan pencarian identitas digital, Odyssey menjadi sangat relevan. Kisah Odysseus yang tersesat, bertemu godaan, dan berusaha pulang, bisa diibaratkan sebagai pencarian jati diri generasi masa kini di tengah derasnya arus informasi dan tekanan sosial.
Begitu juga dengan Iliad, yang menggambarkan pentingnya mengendalikan emosi dan memilih pertempuran yang layak dihadapi. Dalam dunia yang dipenuhi konflik ideologis dan polarisasi, pesan ini menjadi sangat penting.
7. Tetap Jadi Bagian Kurikulum Dunia
Sampai hari ini, Iliad dan Odyssey masih diajarkan di berbagai universitas ternama dunia sebagai dasar pendidikan sastra, filsafat, dan sejarah. Ini membuktikan bahwa relevansinya tidak sekadar romantisasi masa lalu, tetapi nyata dalam pembentukan cara berpikir kritis dan empatik.
Kesimpulan: Kisah Kuno, Makna yang Kekal
Relevansi Iliad dan Odyssey bukan karena usia atau keindahan bahasanya semata, tetapi karena kemampuannya menggambarkan manusia—dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Homer tidak hanya menulis cerita, ia menulis kehidupan.
Dalam dunia yang terus berubah, dua mahakarya ini tetap menjadi pengingat akan nilai-nilai dasar manusia: cinta, keberanian, kehilangan, dan harapan. Maka tak heran jika kita masih membacanya, membicarakannya, dan terus belajar darinya.
Karena pada akhirnya, cerita terbaik bukan yang paling baru, tapi yang paling jujur.