CERPEN: Janji Sarah Buat Ivan (1)
- imdb.com
Makassar, WISATA - Sarah duduk di bangku taman sekolah dengan kepala tertunduk, memandangi layar ponselnya yang sepi dari pesan. Di sekelilingnya, teman-teman sibuk bercanda dan berbicara, tapi Sarah selalu memilih untuk menyendiri. Gadis berambut hitam panjang itu memang dikenal sebagai sosok yang cuek. Ia tidak terlalu peduli dengan omongan orang dan lebih suka menghabiskan waktu dengan pikirannya sendiri.
Ivan, tetangganya yang juga satu sekolah dengannya, duduk di bangku sebelah. Meski jarang berbicara, Sarah tahu banyak tentang Ivan. Ia tahu bahwa Ivan adalah sosok yang baik hati, perhatian pada orang lain, dan selalu bisa diandalkan. Tapi ada satu hal yang Sarah tak bisa mengerti: mengapa Ivan sering terlihat cemas belakangan ini.
Pada suatu sore, setelah pulang sekolah, Sarah melihat Ivan berdiri di depan rumahnya dengan wajah murung. Tanpa berkata apa-apa, Sarah berjalan mendekat. Ivan yang melihatnya langsung menyapa dengan senyum tipis, meski matanya tampak kosong.
"Kamu kenapa, Ivan?" tanya Sarah dengan nada datar.
Ivan menghela napas panjang. "Ibu lagi sakit, Sarah. Sudah beberapa minggu ini. Dokter bilang… ibu mungkin nggak akan lama lagi." Suaranya serak, seolah menahan tangis.
Sarah terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia melihat Ivan, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak begitu rapuh.
"Jadi… gimana?" Sarah bertanya pelan, meski hatinya juga terasa berat.
Ivan menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ibu bilang, sebelum dia pergi, dia ingin aku berjanji. Dia ingin aku menikahi kamu kelak."
Sarah terkejut. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Ivan. "Menikahi aku?" tanyanya bingung, meski ada rasa canggung yang mengalir dalam dadanya.
"Ya," jawab Ivan dengan suara pelan. "Ibu bilang, kamu gadis yang baik. Dia ingin aku membuatmu bahagia. Dia khawatir kalau aku akan kesepian tanpa ibu nanti."
Sarah merasa sesuatu yang aneh menjalar di dalam dadanya. Ia selalu menganggap Ivan sebagai teman biasa, bahkan lebih sering mengabaikannya. Tapi mendengar kata-kata itu, hatinya terasa tergetar.
"Kenapa kamu nggak bilang ke ibu kalau itu nggak perlu?" tanya Sarah lagi, berusaha menjaga jarak.
Ivan tersenyum pahit. "Aku nggak bisa. Ibu sudah terlalu banyak khawatir. Dia hanya ingin memastikan aku nggak sendirian setelah dia pergi."
Sarah terdiam, matanya sedikit memerah, namun ia berusaha menahan air mata. Ia tahu bahwa Ivan sedang berada dalam posisi yang sulit. Menjalani hidup dengan ibu yang sakit-sakitan dan harus memikirkan masa depannya yang sepertinya akan berubah drastis.
"Jadi kamu ingin aku ikut berjanji?" Sarah akhirnya bertanya, suaranya serak. Ia tidak tahu harus bagaimana, tapi hatinya tahu bahwa Ivan membutuhkan dukungan. Mungkin ini bukan tentang cinta, tapi tentang janji dan harapan yang harus dipenuhi.
Ivan mengangguk pelan, wajahnya serius, meskipun ada rasa ragu di matanya. "Iya, Sarah. Aku cuma ingin memastikan ibu merasa tenang."
Sarah menghela napas panjang, menatap mata Ivan yang penuh harapan. "Aku nggak janji apa-apa. Tapi… aku akan ada untuk kamu, Ivan. Apa pun yang terjadi."
Ivan terdiam, lalu akhirnya tersenyum. "Terima kasih, Sarah."
Meski Sarah tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, ia tahu satu hal: janji itu mungkin bukan tentang perasaan cinta yang besar, tapi tentang menjaga satu sama lain, apapun yang terjadi.
Seperti halnya Sarah, Ivan pun sebenarnya terbebani. Namun ia lega mendapat tanggapan yang positif dari Sarah. Ia tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, bahkan ia tidak tahu apakah ia bisa lulus SMA dengan nilai bagus. Tapi semua itu tidak penting. Yang penting ibu tenang dulu dan bisa pergi dengan tenang kalau memang usianya tak lama lagi.
“Maukah … kamu ikut ke rumahku sekarang?” tanya Ivan ragu-ragu. “Hanya supaya ibu melihatmu. Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Bahkan tidak perlu berjanji. Cukup mengangguk dan tersenyum.”
Tanpa pikir panjang Sarah mengangguk. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki halaman rumah Ivan (bersambung).*