Rebutan Mayat Korban Kerusuhan di Mal Klender Tahun 1998, Sebuah Kilas Balik (1)
- (Twitter @creepylogy_)
Wisata – Bulan Mei selalu mengingatkan kita terhadap peristiwa memilukan yang pernah terjadi di ibu kota Jakarta.
Ya, kerusuhan Mei 1998, seolah baru saja terlewat.
Banyak kisah pilu dan menguras air mata, bila mengenang kembali peristiwa tersebut.
Dan inilah cerita dari seorang warga yang senang bermain di Central Plaza, Klender, Jakarta Timur, seperti yang dituliskannya di akun Twitter: @creepylogy_.
Tulisan ini dilihat pada hari Senin, 22 Mei 2023, pukul 21.20 WIB. Sedikit perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang berlaku saat ini.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 edisi karena begitu panjangnya cerita.
Begini kisahnya…
Mayat gosong jadi sangat berarti dari pada tinggal sekadar nama. Tidak masalah berebut tengkorak, asal giginya masih cocok.
Saya menulis kenangan tentang sejarah kelam ini sebagai anak yang kadang-kadang senang bermain di Central Plaza Klender. Tempat ini lebih populer dengan nama Yogya Plaza.
Ada banyak orang yang tidak pernah pulang ke rumah, setelah peristiwa penjarahan dan kebakaran Mal Central Plaza Klender, pada 15 Mei 1998.
400 lebih korban tewas, tidak pernah pasti berapa, karena diyakini banyak yang jadi abu.
Mei 1998, penjarahan meletus di mana-mana, banyak pula yang disertai pembakaran. Namun, kenapa hanya Klender yang begitu parah?
Karenanya perlu menengok kondisi sosial demografis kawasan ini, 25 tahun silam.
Klender, jika dilihat dari kondisi permukiman di sekelilingnya, bukan kawasan rawan. Di sisi timur Plaza terdapat Perumnas, sedang di selatan ada Pondok Bambu dan Duren Sawit yang taraf hidup masyarakatnya secara umum cukup memuaskan.
Ke utara ada Rawamangun, yang dari era 1970-an sudah jadi kawasan menengah ke atas. Lagi pula tidak mungkin dibangun mal kalau market audience tidak ideal.
Kalau pun ada kantong rawan, itu berada di sebelah barat, meliputi Cipinang sampai Jatinegara, serta bagian timur laut yakni kawasan Pulogadung.
Waktu itu, Central Plaza dapat dikatakan sebagai mal kebanggaan warga Jakarta Timur, selain Mal Arion Rawamangun, dan ini adalah mal terbesar.
Central Plaza adalah mal dengan karakter retail dan department store. Mereka menyediakan berbagai produk dan kebutuhan, mulai pakaian hingga furnitur.
Di lantai paling atas, juga terdapat bioskop dan game arena (kalau tidak salah ada diskotek juga). Anak-anak di era itu pasti akrab dengan dingdong. Di pasar, terminal, atau di mana saja gampang bertemu dingdong.
Akan tetapi kalau sudah main dingdong di mal, apalagi game balap dan tembak-tembakan, derajatnya terasa langsung meroket.
Akan tetapi, kondisi lingkungan permukiman dan jalanan adalah dua hal yang amat bertentangan. Menelusur ke barat, di sepanjang jalan I Gusti Ngurah Rai hingga jalan Bekasi Timur Raya berjejer ratusan gelandangan.
Hidup di jalan siang malam, dengan tenda seadanya, dan kebanyakan mereka menjual barang bekas. Tentunya tidak sedikit juga preman dan pengamen jalanan yang tidak pernah tahu akan pulang ke mana.
Tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa, kerawanan dan kejahatan jalanan di seputar Klender cukuplah menyeramkan. Daerah ini terletak di persimpangan Pulogadung dan Jatinegara, yang berbatasan dengan segitiga kriminal Matraman-Manggarai-Senen, di mana di jalanan kala itu, orang-orang yang tidak punya harapan dapat berharap apa saja, asalkan nekat.
Gelandangan penjual loakan bisa menjadi pencabul, pengamen menjadi pemadat, preman bisa menyambi pengedar, pelacur banci dapat berubah jadi garong yang tak segan menyilet.
Dan nyaris setiap hari serdadu STM berjejalan di atas kereta dengan batu yang siap dilempar serta gesper bermata gear, atau celurit.
Saya masih ingat itu lingkungan jalanan yang berbahaya. Sewaktu predator sadis, Robot Gedek dibekuk di Tegal tahun 1997, dan wajahnya dipampang di koran juga televisi, teman kecil saya langsung berujar kalau kami sungguh pernah bertemu dia di Viaduct, saat bermain bola sore hari.
Dia kemudian menggambarkan ingatannya dengan begitu lengkap, sehingga kami pun akhirnya ingat siapa lelaki itu. Dia bahkan sempat mengacau karena minta jadi kiper, dengan kepalanya yang teleng dan senyum aneh.
Kami lantas ingat pula seorang gelandangan penghirup lem Aibon seusia kami, panggilannya bule gembel lantaran berkulit cerah, yang mayatnya ditemukan di selokan dekat rel kereta dua tahun sebelumnya. Entahlah.
Sebelum tragedi mengamuk Klender, kerusuhan telah menimpa daerah lain. Pembicaraan tentang penjarahan tiba-tiba menjadi tren, menyertai kondisi ekonomi yang tidak jelas. Di mana saja orang-orang percaya bahwa menjarah dapat dimaklumi.
Maka, ketika mereka demikian percaya, mal terbesar di Jakarta Timur adalah target yang sempurna untuk membuktikan hal itu. Jadi, memang sebenarnya tempat itu sudah diincar dalam berhari-hari.
Pada 15 Mei 1998, Central Plaza tidak beroperasi, begitu pula kios-kios perniagaan yang ada di sana. Puluhan preman atau lebih berjaga-jaga di lokasi.
Kondisi rawan dan mencekam juga terjadi di hampir seantero Jakarta, kecuali daerah yang dekat dengan markas kesatuan ABRI seperti Condet, Cijantung, atau Halim. Jalanan sepi, semua aktivitas diliburkan.
Menjelang siang ternyata massa ramai-ramai mendatangi Central Plaza. Tidak jelas lagi siapa yang menyulut, kemudian terjadi kekisruhan. Orang-orang memaksa masuk untuk menjarah.
Namun tidak sedikit juga anak dan remaja serta wanita yang terseret tanpa memahami situasi yang tengah berlangsung. Ujung-ujungnya para preman kalah jumlah. Ribuan orang menyerbu masuk seperti penonton konser.
Pembakaran mal tidak langsung terjadi. Pada awalnya ada juga penjarah yang berhasil menggasak barang lalu keluar dengan selamat. Tak ayal, semakin banyak saja manusia yang terhisap ke dalam.
Seorang kawan saya yang ada sangat dekat dari pintu mall karena diajak abangnya mengatakan, setelah semakin banyak orang masuk, mal terlihat ditutup. Ini adalah plot twist yang tidak pernah dipikirkan.
Kalau alasannya agar penjarah tidak dapat membawa pergi jarahannya, dapat dimaklumi. Namun jika nyatanya pintu masuk utama tetap dipalang sementara api berkobar di dalam, tidak akan ada jalan untuk menerimanya dengan pikiran sehat
Wisata – Bulan Mei selalu mengingatkan kita terhadap peristiwa memilukan yang pernah terjadi di ibu kota Jakarta.
Ya, kerusuhan Mei 1998, seolah baru saja terlewat.
Banyak kisah pilu dan menguras air mata, bila mengenang kembali peristiwa tersebut.
Dan inilah cerita dari seorang warga yang senang bermain di Central Plaza, Klender, Jakarta Timur, seperti yang dituliskannya di akun Twitter: @creepylogy_.
Tulisan ini dilihat pada hari Senin, 22 Mei 2023, pukul 21.20 WIB. Sedikit perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang berlaku saat ini.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 edisi karena begitu panjangnya cerita.
Begini kisahnya…
Mayat gosong jadi sangat berarti dari pada tinggal sekadar nama. Tidak masalah berebut tengkorak, asal giginya masih cocok.
Saya menulis kenangan tentang sejarah kelam ini sebagai anak yang kadang-kadang senang bermain di Central Plaza Klender. Tempat ini lebih populer dengan nama Yogya Plaza.
Ada banyak orang yang tidak pernah pulang ke rumah, setelah peristiwa penjarahan dan kebakaran Mal Central Plaza Klender, pada 15 Mei 1998.
400 lebih korban tewas, tidak pernah pasti berapa, karena diyakini banyak yang jadi abu.
Mei 1998, penjarahan meletus di mana-mana, banyak pula yang disertai pembakaran. Namun, kenapa hanya Klender yang begitu parah?
Karenanya perlu menengok kondisi sosial demografis kawasan ini, 25 tahun silam.
Klender, jika dilihat dari kondisi permukiman di sekelilingnya, bukan kawasan rawan. Di sisi timur Plaza terdapat Perumnas, sedang di selatan ada Pondok Bambu dan Duren Sawit yang taraf hidup masyarakatnya secara umum cukup memuaskan.
Ke utara ada Rawamangun, yang dari era 1970-an sudah jadi kawasan menengah ke atas. Lagi pula tidak mungkin dibangun mal kalau market audience tidak ideal.
Kalau pun ada kantong rawan, itu berada di sebelah barat, meliputi Cipinang sampai Jatinegara, serta bagian timur laut yakni kawasan Pulogadung.
Waktu itu, Central Plaza dapat dikatakan sebagai mal kebanggaan warga Jakarta Timur, selain Mal Arion Rawamangun, dan ini adalah mal terbesar.
Central Plaza adalah mal dengan karakter retail dan department store. Mereka menyediakan berbagai produk dan kebutuhan, mulai pakaian hingga furnitur.
Di lantai paling atas, juga terdapat bioskop dan game arena (kalau tidak salah ada diskotek juga). Anak-anak di era itu pasti akrab dengan dingdong. Di pasar, terminal, atau di mana saja gampang bertemu dingdong.
Akan tetapi kalau sudah main dingdong di mal, apalagi game balap dan tembak-tembakan, derajatnya terasa langsung meroket.
Akan tetapi, kondisi lingkungan permukiman dan jalanan adalah dua hal yang amat bertentangan. Menelusur ke barat, di sepanjang jalan I Gusti Ngurah Rai hingga jalan Bekasi Timur Raya berjejer ratusan gelandangan.
Hidup di jalan siang malam, dengan tenda seadanya, dan kebanyakan mereka menjual barang bekas. Tentunya tidak sedikit juga preman dan pengamen jalanan yang tidak pernah tahu akan pulang ke mana.
Tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa, kerawanan dan kejahatan jalanan di seputar Klender cukuplah menyeramkan. Daerah ini terletak di persimpangan Pulogadung dan Jatinegara, yang berbatasan dengan segitiga kriminal Matraman-Manggarai-Senen, di mana di jalanan kala itu, orang-orang yang tidak punya harapan dapat berharap apa saja, asalkan nekat.
Gelandangan penjual loakan bisa menjadi pencabul, pengamen menjadi pemadat, preman bisa menyambi pengedar, pelacur banci dapat berubah jadi garong yang tak segan menyilet.
Dan nyaris setiap hari serdadu STM berjejalan di atas kereta dengan batu yang siap dilempar serta gesper bermata gear, atau celurit.
Saya masih ingat itu lingkungan jalanan yang berbahaya. Sewaktu predator sadis, Robot Gedek dibekuk di Tegal tahun 1997, dan wajahnya dipampang di koran juga televisi, teman kecil saya langsung berujar kalau kami sungguh pernah bertemu dia di Viaduct, saat bermain bola sore hari.
Dia kemudian menggambarkan ingatannya dengan begitu lengkap, sehingga kami pun akhirnya ingat siapa lelaki itu. Dia bahkan sempat mengacau karena minta jadi kiper, dengan kepalanya yang teleng dan senyum aneh.
Kami lantas ingat pula seorang gelandangan penghirup lem Aibon seusia kami, panggilannya bule gembel lantaran berkulit cerah, yang mayatnya ditemukan di selokan dekat rel kereta dua tahun sebelumnya. Entahlah.
Sebelum tragedi mengamuk Klender, kerusuhan telah menimpa daerah lain. Pembicaraan tentang penjarahan tiba-tiba menjadi tren, menyertai kondisi ekonomi yang tidak jelas. Di mana saja orang-orang percaya bahwa menjarah dapat dimaklumi.
Maka, ketika mereka demikian percaya, mal terbesar di Jakarta Timur adalah target yang sempurna untuk membuktikan hal itu. Jadi, memang sebenarnya tempat itu sudah diincar dalam berhari-hari.
Pada 15 Mei 1998, Central Plaza tidak beroperasi, begitu pula kios-kios perniagaan yang ada di sana. Puluhan preman atau lebih berjaga-jaga di lokasi.
Kondisi rawan dan mencekam juga terjadi di hampir seantero Jakarta, kecuali daerah yang dekat dengan markas kesatuan ABRI seperti Condet, Cijantung, atau Halim. Jalanan sepi, semua aktivitas diliburkan.
Menjelang siang ternyata massa ramai-ramai mendatangi Central Plaza. Tidak jelas lagi siapa yang menyulut, kemudian terjadi kekisruhan. Orang-orang memaksa masuk untuk menjarah.
Namun tidak sedikit juga anak dan remaja serta wanita yang terseret tanpa memahami situasi yang tengah berlangsung. Ujung-ujungnya para preman kalah jumlah. Ribuan orang menyerbu masuk seperti penonton konser.
Pembakaran mal tidak langsung terjadi. Pada awalnya ada juga penjarah yang berhasil menggasak barang lalu keluar dengan selamat. Tak ayal, semakin banyak saja manusia yang terhisap ke dalam.
Seorang kawan saya yang ada sangat dekat dari pintu mall karena diajak abangnya mengatakan, setelah semakin banyak orang masuk, mal terlihat ditutup. Ini adalah plot twist yang tidak pernah dipikirkan.
Kalau alasannya agar penjarah tidak dapat membawa pergi jarahannya, dapat dimaklumi. Namun jika nyatanya pintu masuk utama tetap dipalang sementara api berkobar di dalam, tidak akan ada jalan untuk menerimanya dengan pikiran sehat
bersambung)(Sumber: Twitter @creepylogy_)