Relativisme Kebenaran: Kaum Sofis dan Pandangan Bahwa Kebenaran Itu Relatif
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA - Di era digital saat ini, konsep kebenaran semakin dipertanyakan. Informasi bertebaran di berbagai platform media sosial, sering kali tanpa proses verifikasi yang jelas. Fenomena ini mengingatkan kita pada gagasan yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu relativisme kebenaran yang diperkenalkan oleh kaum Sofis. Mereka meyakini bahwa kebenaran bersifat subjektif, bergantung pada sudut pandang individu atau konteks budaya.
Salah satu tokoh Sofis yang paling dikenal, Protagoras, pernah menyatakan, "Manusia adalah ukuran segala sesuatu." Pernyataan ini mengandung makna bahwa setiap individu memiliki standar kebenaran masing-masing. Namun, apakah pandangan ini dapat diterapkan dalam kehidupan modern? Atau justru membahayakan jika diterapkan tanpa batas?
Artikel ini akan mengulas konsep relativisme kebenaran dari kaum Sofis, bagaimana pemikirannya berkembang hingga era digital, serta dampaknya terhadap cara masyarakat saat ini memahami dan menyebarkan informasi.
1. Relativisme Kebenaran Menurut Kaum Sofis
Kaum Sofis merupakan kelompok pemikir dan pengajar di Yunani Kuno yang terkenal karena kemampuannya dalam berdebat dan persuasi. Berbeda dengan filsuf seperti Socrates dan Plato yang mencari kebenaran absolut, kaum Sofis berpendapat bahwa kebenaran selalu bersifat relatif dan bergantung pada perspektif individu.
Menurut Protagoras, setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda, dan tidak ada standar kebenaran yang mutlak. Hal ini berarti bahwa apa yang benar bagi seseorang bisa saja salah bagi orang lain. Konsep ini memberikan kebebasan berpikir, tetapi di sisi lain, juga membuka peluang bagi manipulasi fakta.
Gorgias, seorang Sofis lainnya, bahkan lebih ekstrem dalam pandangannya. Ia menyatakan bahwa:
1. Tidak ada kebenaran yang benar-benar ada.
2. Jika pun ada, manusia tidak akan bisa mengetahuinya.
3. Jika bisa diketahui, manusia tidak akan bisa mengkomunikasikannya.
Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi kaum Sofis, kebenaran hanyalah konstruksi sosial yang dapat berubah sesuai dengan situasi dan kepentingan tertentu.
2. Relativisme Kebenaran di Era Digital: Berkah atau Ancaman?
Pandangan kaum Sofis tampaknya masih relevan di era modern. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, setiap orang kini memiliki akses untuk menyebarkan opini mereka sendiri. Relativisme kebenaran semakin diperkuat dengan maraknya algoritma yang memfilter informasi berdasarkan preferensi individu.
Beberapa dampak utama dari relativisme kebenaran di era digital meliputi:
a. Meningkatnya Disinformasi dan Hoaks
Ketika kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang relatif, maka batas antara fakta dan opini menjadi kabur. Banyak informasi yang tidak berdasarkan bukti ilmiah tetap dipercaya oleh sebagian orang karena sesuai dengan keyakinan mereka.
Menurut data dari Reuters Institute Digital News Report 2024, sekitar 57% pengguna internet di dunia pernah terpapar berita palsu dalam setahun terakhir. Di Indonesia, hoaks terkait politik, kesehatan, dan agama mendominasi pemberitaan palsu yang beredar.
b. Polarisasi Opini Publik
Relativisme kebenaran juga menyebabkan masyarakat semakin terpecah dalam kelompok-kelompok yang hanya menerima informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri (echo chamber). Hal ini membuat diskusi menjadi semakin sulit karena tidak ada standar kebenaran yang diterima secara umum.
Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai perdebatan, mulai dari pandemi COVID-19 hingga isu politik global. Misalnya, teori konspirasi terkait vaksinasi terus berkembang meskipun sudah ada bukti ilmiah yang kuat mengenai keamanannya.
c. Manipulasi oleh Kelompok Tertentu
Kaum Sofis di zaman Yunani Kuno sering menggunakan retorika untuk memenangkan argumen, terlepas dari apakah yang mereka sampaikan benar atau tidak. Prinsip ini kini banyak digunakan dalam dunia politik dan bisnis.
Misalnya, dalam kampanye politik, banyak calon pemimpin yang lebih fokus pada retorika persuasif daripada menyampaikan fakta yang obyektif. Dalam dunia bisnis, strategi pemasaran sering kali membentuk persepsi yang menguntungkan perusahaan, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas produk yang sebenarnya.
3. Bagaimana Menghadapi Relativisme Kebenaran?
Meskipun gagasan bahwa kebenaran bersifat relatif dapat memberikan kebebasan berpikir, tetap ada bahaya jika diterapkan tanpa kendali. Untuk menghadapi tantangan ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
a. Mengembangkan Pemikiran Kritis
Pemikiran kritis sangat penting agar kita tidak mudah terpengaruh oleh opini yang dikemas secara persuasif. Kita perlu selalu bertanya:
- Apa sumber informasi ini?
- Apakah ada bukti yang mendukung?
- Apakah ada kepentingan di balik informasi ini?
Socrates, filsuf yang menentang kaum Sofis, selalu menekankan metode dialektika—mengajukan pertanyaan yang mendalam untuk menguji kebenaran suatu pernyataan.
b. Meningkatkan Literasi Digital
Di era digital, kita harus memahami cara kerja algoritma media sosial dan bagaimana informasi dapat dimanipulasi. UNESCO dan Google telah meluncurkan program literasi digital untuk membantu masyarakat lebih kritis dalam mengonsumsi informasi.
c. Menggunakan Platform Verifikasi Fakta
Untuk melawan disinformasi, kita bisa memanfaatkan platform seperti CekFakta, Snopes, dan Turn Back Hoax. Situs-situs ini menyediakan analisis terhadap berita yang tersebar di internet dan memberikan penjelasan berbasis data.
Kesimpulan
Relativisme kebenaran yang diperkenalkan oleh kaum Sofis masih memiliki pengaruh besar dalam dunia modern. Di satu sisi, konsep ini memungkinkan kebebasan berpikir dan interpretasi yang beragam. Namun, di sisi lain, jika tidak dikendalikan, relativisme dapat menyebabkan disinformasi, polarisasi, dan manipulasi opini publik.
Di era digital yang penuh dengan informasi dari berbagai sumber, penting bagi kita untuk tetap berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan memahami bahwa tidak semua argumen yang disampaikan dengan retorika yang meyakinkan adalah benar. Dengan demikian, kita bisa menghindari jebakan relativisme ekstrem dan tetap berpegang pada prinsip kebenaran yang berbasis bukti dan logika.