Kritik dan Harapan Terhadap Pembentukan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
- Istimewa
Jakarta, WISATA - Pembentukan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) oleh pemerintah Indonesia baru-baru ini memicu berbagai respons dari kalangan masyarakat, khususnya pelaku ekonomi, aktivis hak asasi manusia, dan organisasi pekerja. Banyak yang melihat langkah ini sebagai langkah progresif menuju peningkatan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri. Namun, kritik juga muncul terkait dengan potensi tumpang tindih fungsi dan kewenangan dengan lembaga yang sudah ada, seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Pembentukan kementerian baru ini, yang dipimpin oleh Menteri Abdul Kadir Karding, bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang selama ini menjadi tantangan bagi pekerja migran, baik dari sisi penempatan, perlindungan, maupun peningkatan keterampilan. Namun, muncul pertanyaan apakah pembentukan kementerian ini akan efektif dalam menyelesaikan masalah atau justru menciptakan birokrasi yang lebih rumit bagi para pekerja migran.
Peningkatan Penempatan Pekerja Migran: Menuju Target 40%
Salah satu tujuan utama pembentukan kementerian ini adalah untuk meningkatkan tingkat penempatan pekerja migran Indonesia. Saat ini, pemenuhan demand letter untuk pekerja migran Indonesia hanya mencapai sekitar 25%. Jika angka ini dapat ditingkatkan menjadi 40%, dampaknya terhadap Gross National Product (GNP) Indonesia akan sangat signifikan, mengingat kontribusi remitansi yang dihasilkan oleh pekerja migran.
Remitansi dari pekerja migran Indonesia memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap ekonomi nasional, khususnya di daerah-daerah yang menjadi asal pekerja migran. Remitansi tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga pekerja migran, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Misalnya, peningkatan konsumsi lokal, pembangunan infrastruktur, dan pengurangan angka kemiskinan.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, remitansi pekerja migran menyumbang sekitar 10% dari produk domestik bruto (PDB) di beberapa wilayah Indonesia yang menjadi kantong pekerja migran, seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan sebagian wilayah di Sulawesi. Oleh karena itu, peningkatan jumlah pekerja migran yang ditempatkan secara legal dan dengan keterampilan yang memadai akan berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan nasional.
Selamat atas Pelantikan Menteri Baru dan Harapan untuk Koordinasi yang Baik
Dalam kesempatan ini, Yoyok Pitoyo, Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia Bersatu (KOPITU), mengucapkan selamat atas terpilihnya dua menteri yang akan memainkan peran penting dalam pengelolaan pekerja migran dan tenaga kerja Indonesia. Yassierli, yang baru saja dilantik sebagai Menteri Ketenagakerjaan, dan Abdul Kadir Karding sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Yoyok menyampaikan harapannya bahwa kedua menteri ini dapat bekerja sama secara sinergis untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran.
"Saya berharap mereka dapat membawa perubahan yang signifikan dalam memperbaiki sistem perlindungan pekerja migran Indonesia. Banyak masalah yang perlu segera diatasi, seperti penempatan yang tidak sesuai, masalah hukum di negara tujuan, dan kesejahteraan pekerja migran yang belum terpenuhi secara maksimal," kata Yoyok.
Menurut Yoyok, salah satu kunci keberhasilan kementerian baru ini terletak pada kemampuan kedua menteri tersebut untuk menjalin kerja sama yang erat dan terkoordinasi, mengingat bidang tugas mereka saling berkaitan. Tanpa koordinasi yang baik, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kebijakan dan program, yang pada akhirnya justru menyulitkan para pekerja migran dan pelaku usaha yang terlibat dalam proses penempatan tenaga kerja.
Keterampilan Calon Pekerja Migran: Meningkatkan Daya Saing
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh pekerja migran Indonesia adalah kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di negara tujuan. Yoyok Pitoyo menekankan pentingnya peningkatan keterampilan calon pekerja migran untuk meningkatkan daya saing mereka. Ia menyarankan dibentuknya lembaga vokasi baru di bawah Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang fungsinya adalah untuk menyiapkan tenaga kerja terampil di bidangnya agar dapat lebih kompetitif di pasar global.
Sayangnya, selama ini, pendidikan dan pelatihan vokasi bagi pekerja migran masih mengalami tumpang tindih antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pendidikan. Situasi ini mengakibatkan kebingungan di kalangan calon pekerja migran mengenai lembaga mana yang harus mereka ikuti untuk mendapatkan pelatihan yang sesuai dan berkualitas. Oleh karena itu, keberadaan lembaga vokasi baru yang jelas dan terpisah dari kementerian lainnya menjadi semakin penting untuk memastikan calon pekerja migran mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Menurut sebuah studi oleh International Labour Organization (ILO), peningkatan keterampilan dan pelatihan yang sesuai dapat meningkatkan peluang pekerja migran untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan upah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, lembaga vokasi yang diusulkan Yoyok ini harus fokus pada pengembangan keterampilan praktis yang sesuai dengan permintaan pasar di negara-negara tujuan, sehingga calon pekerja migran dapat lebih siap menghadapi tantangan di luar negeri.
Peran BP2MI: Regulator dan Pengawasan
Dalam konteks perlindungan pekerja migran, penting untuk diingat bahwa BP2MI berperan sebagai regulator dan pengawas, bukan sebagai eksekutor dalam penempatan pekerja migran. Peran ini mengedepankan pentingnya tata kelola yang baik dalam pengelolaan tenaga kerja migran. Namun, perlu ditekankan bahwa BP2MI memiliki tumpang tindih dalam tugas pokok dan fungsi sebagai regulator teknis dan eksekutor.
Walaupun berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 diperkenankan BP2MI menjadi lembaga yang dapat mengirimkan pekerja migran, hal ini hanya dimungkinkan atas permintaan negara yang bersangkutan. Di luar itu, seharusnya Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang melakukan penempatan, agar P3MI memiliki semangat untuk mengejar target cakupan penempatan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sebagai contoh, model Business to Business (B2B) dalam penempatan pekerja migran dapat memberikan kesempatan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat. Di dalam kerangka kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), terdapat peluang untuk meningkatkan kerjasama dalam penempatan tenaga kerja yang saling menguntungkan. Model ini memungkinkan perusahaan di Indonesia untuk bekerja sama dengan perusahaan di Australia dalam merekrut dan menempatkan tenaga kerja, sehingga bisa meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko penempatan yang tidak sesuai.
Harapan Kedepan: Meningkatkan Koordinasi Antar Lembaga dan Sinergi dengan Sektor Swasta
Yoyok Pitoyo menutup pernyataannya dengan harapan agar pemerintah dapat memperbaiki tata kelola pekerja migran Indonesia, baik dari segi penempatan, perlindungan, maupun peningkatan keterampilan. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga-lembaga terkait dalam memberikan layanan yang lebih baik bagi pekerja migran.
"Kementerian ini harus mampu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta, pemerintah daerah, dan lembaga internasional, agar pekerja migran kita mendapatkan hak-hak mereka dengan baik," ujarnya.
Menurutnya, jika kementerian baru ini bisa bekerja dengan efektif, Indonesia dapat melihat peningkatan yang signifikan dalam pengelolaan pekerja migran, yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional.