Epictetus dan Cara Menghadapi Cacian Tanpa Stres

Epictetus Salah Seorang Filsuf Stoicisme
Sumber :
  • apprendreavivre

Jakarta, WISATA - Pernahkah kamu dicaci atau dihina, baik secara langsung maupun lewat media sosial? Perasaan tidak nyaman, marah, atau ingin membalas mungkin langsung muncul. Namun, filsuf Stoik bernama Epictetus memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap hal ini.

Seneca: Kemiskinan Hanya Membutuhkan Sedikit, Tapi Keserakahan Tidak Pernah Cukup

Alih-alih tersulut emosi, Epictetus justru mengajak kita untuk menghadapinya dengan ketenangan dan logika. Dalam salah satu kutipannya yang terkenal, ia mengatakan:

“Jika seseorang berkata buruk tentangmu dan itu benar, benahilah dirimu. Jika itu bohong, tertawalah.”

Seneca: Mengapa Kesuksesan Tak Pernah Membuat Kita Puas

Kutipan ini sederhana, namun sarat makna. Dalam dunia modern yang penuh tekanan sosial dan komentar tak bertanggung jawab di dunia maya, pendekatan ini terasa makin relevan.

Epictetus dan Ajaran Tentang Kendali Diri

Seneca: Ukuran Kekayaan yang Sejati adalah Tahu Kapan Cukup

Epictetus lahir sebagai budak di Kekaisaran Romawi pada abad pertama. Meski hidup dalam keterbatasan, ia dikenal sebagai salah satu pemikir Stoik paling berpengaruh. Ia percaya bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada dunia luar, melainkan pada bagaimana kita meresponsnya.

Menurut Epictetus, kita tidak bisa mengontrol ucapan orang lain, tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita merespons ucapan tersebut. Reaksi kita sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Ketika seseorang mencaci, sebenarnya mereka hanya melemparkan pendapat. Namun jika kita tersinggung, itu karena kita memberi kekuatan pada pendapat tersebut. Maka dari itu, bagi Epictetus, orang bijak akan bersikap tenang, bahkan bisa menertawakan hinaan yang tidak berdasar.

Mengapa Cacian Bisa Begitu Menyakitkan?

Secara psikologis, manusia memang makhluk sosial. Kita punya kebutuhan dasar untuk diterima dan dihargai. Maka ketika seseorang menyerang harga diri kita, apalagi di depan umum, hal itu terasa menyakitkan.

Namun Epictetus mengajak kita untuk membongkar asumsi tersebut. Ia bertanya: apakah kita benar-benar direndahkan oleh hinaan itu, atau hanya karena kita mempercayainya?

“Orang lain hanya berbicara. Yang membuatmu menderita adalah keputusanmu sendiri untuk percaya dan terluka,” kira-kira begitulah sudut pandang Stoik.

Contoh di Kehidupan Nyata

Bayangkan kamu mendapat komentar negatif di media sosial: “Dasar bodoh, nggak tahu apa-apa!”

Kalau kamu langsung marah atau stres, artinya kamu mengakui ucapan itu punya nilai. Tapi kalau kamu bisa menganggapnya sebagai sekadar bunyi-bunyian dari orang asing yang bahkan tidak mengenalmu secara pribadi, maka hinaan itu tak punya kuasa.

Contoh lain, dalam lingkungan kerja, kritik atau sindiran sering kali muncul. Alih-alih bereaksi defensif, cobalah pendekatan Stoik:

1.     Apakah kritik itu benar? Kalau ya, itu bisa jadi bahan refleksi untuk perbaikan diri.

2.     Kalau salah? Anggap saja itu salah persepsi. Tidak semua orang melihat hal yang sama dengan kita.

Latihan Mental Stoik untuk Menghadapi Cacian

Epictetus tidak menyarankan kita untuk menjadi kebal rasa atau robot tanpa emosi. Tapi ia mengajak kita melatih mental tangguh dan tenang, agar tidak dikendalikan oleh emosi sesaat. Berikut beberapa latihannya:

1.     Jeda sebelum bereaksi: Ketika dicaci, jangan langsung membalas. Tarik napas, beri jeda untuk berpikir.

2.     Pisahkan fakta dan opini: “Kamu bodoh” adalah opini, bukan fakta.

3.     Ubah fokus: Alih-alih fokus pada ucapan orang lain, fokuslah pada kendali diri dan tanggapanmu.

4.     Latih empati: Bisa jadi orang yang mencaci sedang terluka atau memiliki masalah pribadi. Jangan biarkan luka mereka menular padamu.

Mengapa Relevan di Era Digital?

Saat ini, siapa pun bisa berkomentar tentang siapa saja dengan sangat mudah. Dunia maya sering kali menjadi tempat cacian yang lebih tajam daripada dunia nyata. Tapi justru di era ini, ajaran Epictetus menjadi senjata yang ampuh.

Banyak orang mengalami gangguan mental hanya karena komentar di media sosial. Tapi jika kita memakai kacamata Stoik, komentar buruk itu hanya berisi huruf dan kata, tidak lebih.

“Apa yang merusak hidup kita bukan apa yang orang lain katakan, tapi apa yang kita pilih untuk percaya,” demikian inti pemikiran Epictetus.

Mengajarkan Generasi Muda untuk Tidak Reaktif

Epictetus juga mengajarkan pentingnya pendidikan karakter, bukan hanya pengetahuan. Anak-anak dan generasi muda perlu dibekali bukan hanya dengan teknologi, tapi juga ketangguhan emosional agar tidak mudah goyah ketika dicaci atau dikritik.

Dengan memahami filosofi Stoik, mereka bisa belajar untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan tidak mudah terprovokasi oleh komentar negatif.

Kesimpulan: Tenang, Bukan Lemah

Menjadi tenang bukan berarti lemah. Justru orang yang bisa tetap tenang saat dicaci adalah orang yang paling kuat. Epictetus mengingatkan kita bahwa harga diri sejati tidak bisa ditentukan oleh orang lain. Hanya kita yang bisa menentukan nilainya.

Ketika kita mulai mengabaikan hal-hal di luar kendali kita dan memusatkan perhatian pada kendali diri, maka kita sedang berjalan menuju kebebasan sejati—bebas dari opini, hinaan, dan tekanan sosial yang tidak perlu.