Marcus Aurelius dan Seni Mengendalikan Emosi dalam Hidup
- Traderu
Jakarta, WISATA - Dalam dunia yang serba cepat, penuh tekanan, dan kerap membuat kita terombang-ambing oleh emosi, belajar mengendalikan perasaan menjadi sebuah keterampilan hidup yang sangat berharga. Salah satu tokoh yang paling dikenal mampu menguasai seni ini adalah Marcus Aurelius — seorang filsuf Stoik dan Kaisar Romawi yang terkenal karena kebijaksanaannya.
Melalui buku Meditations yang ia tulis sebagai catatan pribadi, Marcus Aurelius menyampaikan refleksi mendalam tentang bagaimana seseorang bisa tetap tenang, rasional, dan bijak di tengah tantangan hidup. Ia bukan hanya seorang pemikir, tapi juga seorang pemimpin besar yang mengamalkan filosofi Stoik secara nyata dalam hidupnya. Artikel ini akan membahas bagaimana Marcus Aurelius mengajarkan seni mengendalikan emosi, dan bagaimana kita bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
1. Emosi adalah Reaksi, Bukan Realitas
Salah satu kutipan terkenal Marcus Aurelius adalah:
“You don’t have to turn this into something. It doesn’t have to upset you.”
(Kamu tidak perlu menjadikan ini sesuatu yang besar. Ini tidak harus membuatmu kesal.)
Kita sering kali merasa marah, sedih, atau frustrasi bukan karena kejadian itu sendiri, tapi karena interpretasi kita terhadapnya. Filosofi Stoik mengajarkan bahwa kejadian adalah netral; kitalah yang memberinya makna. Saat kita menyadari hal ini, kita bisa mulai mengambil jarak dari emosi dan mengontrolnya, bukan dikontrol olehnya.
2. Kendalikan Pikiran, Maka Emosi Akan Mengikut
Marcus menulis:
“The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts.”
(Kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu.)
Pikiran adalah akar dari semua perasaan. Dengan menjaga agar pikiran tetap jernih, positif, dan rasional, kita bisa mengatur gelombang emosi yang muncul. Teknik yang diajarkan Stoikisme seperti journaling, meditasi pagi, dan refleksi malam hari adalah cara konkret untuk melatih kendali ini.
3. Terimalah Apa yang Tidak Bisa Diubah
“Accept the things to which fate binds you.”
(Terimalah hal-hal yang ditakdirkan untukmu.)
Dalam menghadapi situasi sulit, kemarahan sering muncul karena kita menolak realitas. Namun Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima keadaan yang tak bisa diubah dengan tenang. Ini bukan berarti pasrah, tetapi memahami bahwa tidak semua hal ada dalam kendali kita.
Marcus menunjukkan bahwa kemarahan terhadap hal-hal di luar kendali hanya membuang energi dan memperburuk keadaan. Sebaliknya, fokus pada reaksi dan tindakan kita adalah kunci menuju ketenangan.
4. Jadilah Orang yang Sulit Tersulut
Marcus Aurelius menulis:
“Be tolerant with others and strict with yourself.”
(Bersikaplah toleran terhadap orang lain dan keras pada dirimu sendiri.)
Salah satu penyebab utama emosi meledak adalah ekspektasi yang tidak realistis terhadap orang lain. Kita berharap mereka bertindak sesuai keinginan kita. Ketika itu tidak terjadi, kita frustrasi. Stoikisme mengajarkan kita untuk mengubah fokus ke dalam: membenahi sikap dan respon kita sendiri, bukan mencoba mengubah dunia.
5. Marah Itu Manusiawi, Tapi Mengendalikannya Itu Bijak
Stoikisme bukan berarti menjadi robot yang tidak merasakan apapun. Marcus Aurelius pun pernah merasa marah, kecewa, dan sedih. Tapi ia melatih diri untuk tidak larut dalam emosi tersebut. Dalam catatannya, ia menuliskan:
“How much more harmful are the consequences of anger than the circumstances that aroused them.”
(Betapa lebih berbahayanya akibat dari kemarahan dibandingkan situasi yang menyebabkannya.)
Kemarahan bisa membuat kita mengambil keputusan buruk, melukai orang lain, dan menyesal di kemudian hari. Maka, mengendalikan emosi adalah bentuk perlindungan diri dan orang lain.
6. Jeda Sebelum Bereaksi
Salah satu praktik Stoik yang diajarkan Marcus adalah mengambil jeda sebelum merespons sesuatu, terutama saat emosi tinggi. Dalam jeda itu, kita punya kesempatan untuk berpikir: Apakah ini hal yang penting? Apakah ini layak membuatku marah? Apakah aku akan menyesalinya nanti?
Dengan jeda sejenak, kita memberi ruang bagi akal sehat untuk mengambil alih.
7. Latihan Harian: Meditasi ala Marcus
Marcus Aurelius biasa memulai hari dengan refleksi: membayangkan bahwa ia akan bertemu orang bodoh, pemarah, atau tidak tahu diri. Bagi Marcus, persiapan mental seperti ini membuatnya lebih tahan terhadap frustrasi.
Dalam Meditations, ia menulis:
“Begin each day by telling yourself: today I shall be meeting with interference, ingratitude, insolence, disloyalty, ill-will, and selfishness…”
Ini bukan pesimisme, melainkan persiapan mental agar kita tidak kaget atau marah ketika hal itu terjadi. Kita jadi lebih siap secara emosional untuk menghadapi dunia nyata.
Kesimpulan: Seni Mengendalikan Emosi adalah Kekuatan Sejati
Di era media sosial, tekanan kerja tinggi, dan hubungan antar manusia yang makin kompleks, kemampuan mengendalikan emosi adalah keahlian penting yang menentukan kualitas hidup kita. Marcus Aurelius, melalui filosofi Stoikisme, mengajarkan bahwa kendali terhadap diri sendiri adalah bentuk kekuatan sejati.
Dengan merenungkan kata-kata Marcus dan menerapkannya sedikit demi sedikit dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa belajar menjadi pribadi yang lebih tenang, bijak, dan bahagia. Emosi bukan untuk ditekan, tapi untuk dipahami dan dikelola.
Kamu tak perlu menjadi kaisar untuk menguasai seni ini—cukup mulai dari sekarang, dari pikiranmu sendiri.