Marcus Aurelius: “Bagi yang bijak, hidup adalah masalah; bagi yang bodoh, solusi”

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Dalam perenungannya yang abadi, Kaisar Romawi dan filsuf Stoik Marcus Aurelius pernah menulis: “To the wise, life is a problem; to the fool, a solution.” Jika diterjemahkan secara bebas: “Bagi orang bijak, hidup adalah masalah; bagi orang bodoh, solusi.”

Seneca: Awal dari Kemajuan Adalah Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri

Kalimat singkat ini sarat makna dan relevan untuk zaman modern. Marcus menyingkap perbedaan mendasar antara cara pandang orang bijak dan orang yang sembrono terhadap kehidupan. Sementara yang bijak menyadari kompleksitas hidup dan merenunginya, si bodoh merasa sudah tahu semua jawabannya—padahal tidak memahami apa-apa.

Mengenali Kompleksitas Hidup

Seneca: Memiliki Tak Lagi Menyenangkan Jika Tak Dibagikan

Bagi orang bijak, hidup bukan sesuatu yang bisa diringkas dalam satu slogan, ideologi, atau jawaban instan. Hidup dipahami sebagai rangkaian persoalan yang saling terkait, yang memerlukan pemikiran, pengamatan, dan refleksi mendalam.

Seorang pemikir tidak akan menyimpulkan dunia hanya dari satu pengalaman. Ia tahu bahwa hidup penuh paradoks: kegembiraan dan kesedihan berjalan beriringan, keberhasilan bisa menjadi awal kegagalan, dan keputusan baik bisa berujung petaka. Justru dari kesadaran inilah lahir kebijaksanaan.

Seneca: Hidup Selaras dengan Alam, Jalan Menuju Kekayaan Sejati

Sementara itu, orang yang bodoh sering kali merasa sudah punya “jawaban” atas hidup—ia menyederhanakan kompleksitas menjadi hitam dan putih, benar dan salah, kita dan mereka. Padahal hidup terlalu dalam untuk diselesaikan dengan jawaban sederhana.

Dalam Konteks Dunia Modern

Pandangan Marcus sangat relevan di era digital ini. Banyak orang mencari solusi cepat atas hidup mereka melalui video motivasi singkat, kutipan media sosial, atau “life hack” yang viral. Bukan berarti semua itu tidak bermanfaat, tapi bila kita percaya bahwa hidup bisa diselesaikan hanya dengan tips-tips singkat, kita mungkin sedang jatuh dalam jebakan “solusi” palsu.

Sikap bijak justru menuntut kita untuk menanyakan lebih banyak pertanyaan, bukan merasa sudah punya semua jawaban. Orang bijak bersedia menghadapi ketidakpastian, terus belajar, mengakui bahwa mereka belum tahu, dan terbuka terhadap sudut pandang baru.

Hidup sebagai Proses Pembelajaran

Marcus Aurelius sendiri adalah teladan dari hal ini. Sebagai kaisar, ia punya kekuasaan besar, namun ia tetap rendah hati dan memandang hidup sebagai serangkaian pelajaran. Ia tidak pernah berhenti merenung dan menulis catatan pribadi yang kini dikenal sebagai Meditations — buku filsafat yang paling banyak dibaca di dunia hingga saat ini.

Dalam catatannya, ia terus mempertanyakan motif, tindakan, dan perasaan dirinya sendiri. Ia tahu bahwa menjadi bijak bukan soal tahu segalanya, tapi terus mengolah diri.

Belajar Menjadi Bijak

Kutipan ini juga mengajak kita untuk menjauhi sikap merasa paling benar. Kita tidak perlu menjadi filsuf untuk menjalani hidup dengan cara bijak. Cukup dengan bersedia bertanya: Mengapa saya berpikir seperti ini? Apakah saya melihat seluruh gambaran? Apakah ada hal yang belum saya pahami?

Hidup sebagai masalah bukan berarti hidup itu buruk. Justru, itu berarti hidup adalah ruang untuk berpikir, tumbuh, dan belajar. Masalah bukan musuh, tapi sahabat yang menunjukkan kedalaman kita sebagai manusia.

Penutup

Marcus Aurelius mengingatkan bahwa kebijaksanaan bukan hasil akhir, melainkan proses yang terus berlangsung. Orang bijak tidak pernah berhenti menggali makna hidup. Sebaliknya, orang yang merasa sudah punya semua jawaban justru berhenti berkembang.

Jadi, mari kita tidak cepat puas dengan “solusi” instan. Lihatlah hidup sebagai medan perenungan. Dengan begitu, kita bisa menapaki jalan kehidupan yang lebih dalam, lebih jujur, dan lebih bermakna.