Albert Camus: “People Hasten to Judge in Order Not to Be Judged Themselves” — Refleksi atas Budaya Menghakimi
- Cuplikan layar
"People hasten to judge in order not to be judged themselves."
– Albert Camus
Jakarta, WISATA - Ketergesaan manusia dalam menghakimi sesamanya bukanlah fenomena baru. Sejak dulu, kita hidup dalam masyarakat yang cepat memberikan label, vonis, dan kesimpulan terhadap orang lain. Albert Camus, filsuf eksistensialis asal Prancis, dengan tajam menyimpulkan bahwa kecenderungan manusia untuk cepat menghakimi sering kali merupakan bentuk perlindungan diri agar mereka sendiri tidak dihakimi.
Pernyataan ini mengandung kedalaman psikologis dan sosial yang luar biasa. Ia menyentil realitas sosial yang kerap tak kita sadari: bahwa di balik sikap menghakimi orang lain, tersembunyi ketakutan akan disorot, dikritik, bahkan ditolak.
Mengapa Kita Cepat Menghakimi?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihatnya dengan mudah: komentar pedas di media sosial, cibiran terhadap penampilan orang lain, kritik terhadap pilihan hidup orang yang bahkan tidak kita kenal. Semua ini terjadi dengan kecepatan yang mengejutkan.
Camus mengajak kita untuk menyadari bahwa perilaku semacam itu bukan sekadar reaksi spontan, tetapi bagian dari mekanisme pertahanan diri. Menghakimi orang lain membuat kita merasa berada di posisi “lebih tinggi”. Itu memberikan ilusi superioritas yang menenangkan ego kita.
Ketika seseorang mengkritik cara berpakaian orang lain, bisa jadi itu adalah caranya untuk menutupi ketidakpastian terhadap penampilan dirinya sendiri. Saat seseorang cepat mencap orang lain bodoh, mungkin itu karena ia takut dinilai kurang cerdas.
Dengan kata lain, dengan menyorot kekurangan orang lain, kita mengalihkan perhatian dari kekurangan kita sendiri.
Budaya yang Mengaburkan Empati
Sayangnya, zaman sekarang membuat kecenderungan ini semakin subur. Media sosial menyediakan panggung luas untuk menghakimi siapa saja. Dalam hitungan detik, seseorang bisa menjadi sasaran cibiran massal hanya karena kesalahan kecil — atau bahkan hanya karena beda pendapat.
Budaya menghakimi ini membunuh empati. Kita lupa bahwa orang yang kita hakimi juga manusia, dengan latar belakang, cerita hidup, dan luka yang tak kita ketahui. Kita berhenti bertanya, dan langsung menyimpulkan.
Camus menyadarkan kita bahwa hasrat untuk menilai adalah bentuk ketakutan. Ketakutan untuk dilihat terlalu dekat, ketakutan untuk terbuka, ketakutan akan kekurangan kita sendiri.
Sisi Psikologis: Melindungi Diri Lewat Penghakiman
Dalam psikologi, fenomena ini dikenal sebagai “proyeksi” — ketika seseorang melemparkan perasaan, ketakutan, atau kelemahannya ke orang lain. Misalnya, seseorang yang merasa tidak aman secara finansial mungkin akan cepat mengkritik gaya hidup orang lain agar tidak terlihat bahwa dirinya sedang kesulitan.
Menghakimi juga memberi rasa kontrol. Dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian sering membuat manusia gelisah. Dengan memberi label pada orang lain — “dia salah,” “dia bodoh,” “dia gagal” — kita merasa sedikit lebih pasti tentang posisi kita sendiri.
Namun, ini adalah kontrol semu. Karena pada dasarnya, semakin sering kita menghakimi, semakin besar kemungkinan bahwa kita menyembunyikan sesuatu dalam diri sendiri.
Masyarakat yang Takut Terlihat Rentan
Pernyataan Camus juga mencerminkan kondisi sosial yang lebih besar: kita hidup dalam masyarakat yang takut akan kerentanan. Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, menunjukkan kelemahan dianggap sebagai tanda kegagalan.
Maka, agar tidak terlihat lemah, kita berusaha keras tampil kuat. Salah satu caranya adalah dengan menilai dan menjatuhkan orang lain. Ini adalah pertahanan diri kolektif terhadap rasa tidak aman.
Ketika kita menyadari ini, kita bisa mulai membangun masyarakat yang lebih sadar diri. Yang mengedepankan pemahaman daripada penghakiman. Yang mengajak bertanya sebelum menyimpulkan. Yang melihat manusia secara utuh, bukan sekadar dari potongan tindakannya.
Jalan Keluar: Kesadaran dan Empati
Kita tidak bisa menghentikan orang lain menghakimi. Tapi kita bisa mulai dari diri sendiri. Saat dorongan untuk menilai muncul, coba tunda sebentar. Tanyakan pada diri sendiri:
- Apakah saya benar-benar tahu latar belakang orang ini?
- Apakah saya sedang merasa tidak aman?
- Apakah saya menghakimi agar saya tidak dihakimi?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak nyaman, tetapi sangat perlu. Karena kesadaran diri adalah langkah awal menuju masyarakat yang lebih sehat secara emosional.
Camus tidak mengatakan kita harus menutup mata terhadap kesalahan orang lain. Tapi ia mengajak kita untuk berhenti terburu-buru dalam menilai. Untuk membuka ruang dialog, memahami konteks, dan memberi kesempatan orang lain menjelaskan.
Dunia yang Lebih Baik Dimulai dari Sikap Kita
Jika kita ingin hidup di dunia yang lebih adil, lebih hangat, dan lebih manusiawi, maka kita perlu menahan hasrat untuk cepat menghakimi. Kita perlu menggantinya dengan keingintahuan, kasih sayang, dan empati.
Camus meyakini bahwa kejujuran terhadap diri sendiri adalah langkah awal menuju kebebasan. Maka, ketika kita tergoda untuk menilai orang lain, mungkin itu saatnya kita menilai diri kita sendiri lebih jujur.
Penutup
Dalam dunia yang terburu-buru dan penuh tekanan sosial, pernyataan Camus menjadi pengingat yang penting. Bahwa ketergesaan kita dalam menghakimi sering kali lahir dari ketakutan kita sendiri. Jika kita ingin benar-benar bebas dan damai, kita harus belajar menghadapi diri kita sendiri — bukan dengan menilai orang lain, tetapi dengan memahami mereka.
Sebab, pada akhirnya, kebaikan yang kita berikan kepada orang lain akan kembali pada diri kita sendiri — dalam bentuk kedamaian, keutuhan, dan keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya.