Seneca: “Lebih pantas bagi seseorang untuk menertawakan hidup daripada meratapinya”
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Di tengah kehidupan yang penuh tekanan, tantangan, dan ketidakpastian, kutipan filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca, kembali relevan untuk direnungkan:
“It is more fitting for a man to laugh at life than to lament over it.”
(“Lebih pantas bagi seseorang untuk menertawakan hidup daripada meratapinya.”)
Kutipan ini bukan sekadar ajakan untuk bersikap optimistis, tetapi merupakan perwujudan dari kebijaksanaan mendalam yang telah berusia lebih dari dua milenium. Dalam filsafat Stoik, tawa bukan berarti mengabaikan penderitaan, melainkan cara paling manusiawi dan terhormat untuk menghadapinya.
Tawa sebagai Bentuk Kekuatan, Bukan Pelarian
Seneca tidak mengajak manusia menjadi apatis atau menertawakan derita orang lain. Sebaliknya, ia mendorong setiap individu untuk tidak membiarkan hidup merenggut ketenangan batin. Saat kita memilih tertawa atas cobaan dan ironi hidup, kita sedang menunjukkan kekuatan untuk tidak dikendalikan oleh hal-hal di luar kendali kita.
Menurut ajaran Stoik, hal yang bisa kita kendalikan hanyalah respons kita terhadap peristiwa, bukan peristiwanya itu sendiri. Maka ketika kita memilih menertawakan ironi dan absurditas hidup, kita sedang merebut kembali otonomi atas pikiran dan emosi kita.
Menertawakan Hidup: Bentuk Penerimaan dan Ketahanan Mental
Tertawa bukan berarti tidak peduli, melainkan bentuk penerimaan bahwa kehidupan tidak selalu adil, tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan sering kali menghadirkan kejutan. Alih-alih tenggelam dalam ratapan, Seneca mengajarkan bahwa dengan tawa, kita menciptakan jarak emosional dari penderitaan, memungkinkan kita untuk melihat segala sesuatu dengan lebih jernih.
Ini sejalan dengan prinsip amor fati dalam Stoikisme — mencintai nasib. Apa pun yang datang, baik atau buruk, harus diterima dengan penuh kesadaran dan ketenangan.
Konteks Modern: Hidup di Era Ketidakpastian
Dalam kehidupan masa kini yang dibanjiri informasi, tekanan sosial, dan tuntutan ekonomi, banyak orang yang merasa kehilangan kendali atas hidup mereka. Stres, kecemasan, dan depresi menjadi penyakit mental yang merebak di berbagai lapisan masyarakat.
Kutipan Seneca menjadi relevan sebagai pengingat bahwa cara kita merespons hidup sangat menentukan kualitas batin kita. Daripada terus-menerus mengeluh, mengasihani diri sendiri, atau meratapi nasib, Seneca menyarankan pendekatan yang lebih ringan dan menyembuhkan: menertawakan hidup.
Tawa sebagai Obat Emosional
Penelitian modern dalam psikologi pun mendukung pandangan Seneca. Tertawa terbukti bisa mengurangi hormon stres seperti kortisol, meningkatkan hormon endorfin yang membuat kita merasa lebih bahagia, dan mempererat hubungan sosial. Dalam banyak kasus, humor menjadi mekanisme bertahan hidup yang ampuh di tengah kesulitan.
Bahkan dalam konteks medis, laughter therapy digunakan untuk membantu pasien kanker, penderita gangguan kecemasan, dan mereka yang sedang mengalami trauma emosional.
Menertawakan, Bukan Menyepelekan
Namun penting untuk diingat, menertawakan hidup bukan berarti menyepelekan penderitaan. Tertawa di sini adalah simbol kebijaksanaan dan kedewasaan emosional, bukan sinisme atau pelarian. Kita menertawakan keterbatasan kita, ketidakpastian masa depan, dan kenyataan bahwa hidup tak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Seneca, melalui filosofi ini, tidak sedang merendahkan nilai hidup, tetapi justru meninggikannya. Ia mengajarkan bahwa hidup, sebagaimana adanya, harus kita hadapi dengan kepala tegak — dan jika memungkinkan, dengan senyum di wajah.
Teladan dari Para Tokoh Dunia
Banyak tokoh besar yang dikenal memiliki kepekaan humor dalam menghadapi masalah. Nelson Mandela, misalnya, sering tertawa meski menghabiskan 27 tahun di penjara. Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus penyintas Holocaust, menulis bahwa bahkan dalam kamp konsentrasi, manusia tetap punya kebebasan memilih sikap terhadap penderitaan.
Mereka membuktikan bahwa menertawakan hidup bukanlah bentuk kelemahan, melainkan bukti kekuatan batin yang luar biasa.
Kesimpulan
Seneca memberikan pelajaran berharga: daripada meratapi hidup yang tak sempurna, lebih bijak bagi kita untuk menertawakannya. Tertawa bukan berarti mengabaikan kenyataan, tetapi cara cerdas dan kuat untuk menjalaninya.
Dalam kehidupan yang terus bergerak tanpa bisa ditebak, tawa adalah pelindung terakhir jiwa manusia — bentuk kebebasan yang tak bisa direnggut oleh nasib. Sebagaimana Seneca ajarkan, menertawakan hidup adalah cara kita menyatakan bahwa hidup, betapapun sulitnya, tetap layak dijalani dengan ringan dan bermartabat.