Kisah Epictetus: Dari Budak Kekaisaran Roma Menjadi Filsuf Stoa yang Mempengaruhi Dunia
- Image Creator Grok/Handoko
Malang, WISATA - Kisah hidup Epictetus adalah potret perjalanan luar biasa dari keterbatasan menuju kebijaksanaan yang abadi. Lahir sekitar tahun 50 Masehi di kota Hierapolis, Asia Kecil—kini wilayah Turki—Epictetus mengawali hidupnya sebagai budak dari Epaphroditus, seorang pejabat penting dalam istana Kaisar Nero. Dalam kungkungan perbudakan dan tirani kekaisaran, muncul benih pemikiran yang kelak membentuk dasar filosofi Stoa yang abadi.
Epaphroditus dikenal sebagai administrator berpengaruh di istana kekaisaran Roma, dan diduga membawa Epictetus ke Roma sebelum tahun 68, ketika ia terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Namun, kemungkinan lain adalah bahwa Epictetus baru datang ke Roma setelah Epaphroditus diizinkan kembali oleh Kaisar Domitian pada 81 Masehi.
Menimba Ilmu di Bawah Tekanan Kekuasaan
Tidak banyak informasi yang pasti mengenai latar belakang pendidikan Epictetus. Yang diketahui secara umum adalah bahwa ia sempat belajar di bawah bimbingan Musonius Rufus, seorang senator Romawi sekaligus filsuf Stoa yang mengajar di Roma. Dari Musonius, Epictetus mengenal nilai-nilai filsafat Stoa yang mengedepankan ketenangan batin, pengendalian diri, dan kehidupan sesuai dengan alam.
Setelah memperoleh kebebasan sebagai orang merdeka, Epictetus mulai mengajar filsafat secara mandiri. Namun, kariernya di Roma tidak berlangsung lama. Ia menjadi korban edik Kaisar Domitian pada tahun 89 yang mengusir para filsuf dari wilayah Italia karena dianggap membahayakan kekuasaan negara.
Berkarya di Pengasingan: Sekolah di Nicopolis
Epictetus akhirnya menetap di Nicopolis, sebuah kota administratif penting di pesisir barat laut Yunani (Epirus). Di sana, ia mendirikan sekolah filsafat dan mengajar hingga akhir hayatnya sekitar tahun 135 Masehi. Saat mengajar, ia dikenal berjalan pincang, suatu kondisi yang diduga akibat radang sendi atau kekerasan fisik yang dialaminya semasa menjadi budak.
Meski tidak pernah menikah, Epictetus menunjukkan sisi kemanusiaannya dengan mengadopsi seorang anak dari pasangan yang tidak mampu. Tindakannya ini mencerminkan nilai-nilai kasih sayang dan tanggung jawab sosial yang ia ajarkan dalam filsafatnya.
Warisan Ajaran Epictetus: Discourses dan Encheiridion
Warisan terbesar Epictetus bukanlah dalam bentuk tulisan pribadinya, melainkan melalui muridnya, Arrian dari Nikomedia. Arrian, seorang sejarawan dan penulis terkenal, mencatat ajaran Epictetus dalam bentuk buku berjudul Discourses. Awalnya terdiri dari delapan jilid, yang bertahan hingga kini hanya empat jilid. Meskipun tidak ditulis langsung oleh Epictetus, gaya bahasa Yunani Koine yang digunakan serta kedalaman isi filsafatnya diyakini merupakan cerminan asli dari ajaran sang filsuf, bukan hasil rekayasa Arrian.
Buku Encheiridion, yang berarti “buku pegangan” atau “manual”, merupakan ringkasan dari Discourses. Namun, banyak akademisi menganggapnya sebagai representasi yang terlalu ringkas dan bahkan kadang menyesatkan terkait motivasi filosofis Epictetus yang lebih kompleks dan mendalam.
Selain itu, terdapat kutipan-kutipan dari para penulis kuno lainnya yang merujuk pada Discourses, termasuk fragmen penting seperti yang dinomori oleh Schenkl 8, 9, dan 14. Potongan-potongan ini memperkaya pemahaman kita tentang kedalaman pemikiran Epictetus.
Penerbitan dan Studi Modern tentang Epictetus
Edisi standar dalam bahasa Yunani untuk karya-karya Epictetus diterbitkan oleh Schenkl pada tahun 1916. Edisi penting lainnya termasuk terbitan Loeb oleh Oldfather (dua jilid, 1926–28) dan edisi terjemahan Prancis oleh Souilhé (empat jilid, 1948–65). Terjemahan bahasa Inggris yang sering dijadikan rujukan termasuk versi Robin Hard (1995), yang merupakan revisi dari terjemahan klasik oleh Elizabeth Carter (1759), serta versi singkat dari Robert Dobbin (2008).
Robert Dobbin juga dikenal karena pengantar dan catatannya yang mendalam dalam edisi terjemahan Discourses Buku I (1998). Bagi mereka yang ingin menyelami pemikiran Epictetus secara lebih menyeluruh, karya A.A. Long (2002) menjadi referensi utama. Meski studi awal dari Bonhöffer (1890 dan 1894) kini telah banyak disempurnakan, nilainya sebagai rujukan tetap tinggi.
Kumpulan kutipan yang dikenal sebagai Golden Sayings juga menjadi bagian penting dari warisan Epictetus. Karya ini merupakan kompilasi aphorisme yang diambil dari Discourses dan Encheiridion, yang hingga kini sering dijadikan sumber inspirasi moral dan spiritual.
Pemikiran Epictetus dan Pengaruhnya di Dunia Modern
Ajaran Epictetus menekankan bahwa manusia tidak dapat mengontrol segala hal di luar dirinya, tetapi dapat dan harus mengendalikan sikap dan respons terhadap keadaan tersebut. Prinsip ini masih sangat relevan di tengah tekanan kehidupan modern. Konsep tentang "hidup sesuai kodrat" dan pengendalian diri dalam menghadapi kesulitan menjadikan Epictetus salah satu tokoh Stoikisme yang paling dihormati hingga kini.
Para filsuf besar setelahnya, termasuk Marcus Aurelius dan tokoh-tokoh dari era Pencerahan, banyak terinspirasi oleh ajaran Epictetus. Bahkan dalam dunia psikologi modern, khususnya dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT), nilai-nilai yang diangkat oleh Epictetus masih dijadikan rujukan.
Kesimpulan: Dari Perbudakan Menuju Kebebasan Batin
Epictetus bukan hanya seorang filsuf, melainkan simbol kebebasan batin yang sejati. Meskipun hidupnya dimulai dalam belenggu perbudakan, pemikirannya membebaskan jutaan manusia dari penderitaan mental dan emosional. Dengan menggali kebijaksanaan dalam penderitaan, Epictetus mengajarkan bahwa sejatinya manusia merdeka adalah mereka yang mampu menguasai dirinya sendiri.
Kisah Epictetus mengingatkan kita bahwa filosofi bukanlah hanya wacana intelektual, melainkan panduan hidup yang lahir dari pengalaman nyata. Dari Hierapolis hingga Nicopolis, dari belenggu hingga kebebasan, nama Epictetus tetap abadi dalam sejarah sebagai pelita kebijaksanaan di tengah kegelapan dunia.