“Kita Lebih Sering Menderita dalam Imajinasi daripada dalam Kenyataan” – Seneca

Seneca Filsuf Stoicisme
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang dipenuhi kekhawatiran, stres, dan bayang-bayang akan masa depan, satu kutipan kuno dari filsuf Stoik Romawi Seneca terasa semakin relevan:

Keteguhan Hati adalah Pondasi Semua Kebajikan: Pelajaran Abadi dari Zeno dari Citium

“Kita lebih sering menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan.”

Pernyataan ini berasal dari karya Seneca Letters to Lucilius, dan hingga hari ini menjadi pilar utama filosofi Stoikisme: bahwa pikiran kita sering menjadi sumber penderitaan yang jauh lebih besar daripada peristiwa nyata yang kita alami.

Zeno dari Citium: “Orang Bijak Tidak Menyesali Masa Lalu, Tidak Takut pada Masa Depan”

Mengungkap Makna: Imajinasi sebagai Sumber Derita

Seneca menyampaikan bahwa manusia kerap menggandakan penderitaan melalui bayangan, asumsi, dan ketakutan yang belum tentu terjadi. Pikiran kita menciptakan skenario buruk secara berulang, hingga kita merasa lelah bahkan sebelum masalah itu datang.

Zeno dari Citium: “Apa yang Menimpa Kita Bukanlah Masalah, Cara Kita Menghadapinya yang Menentukan”

Dalam suratnya kepada Lucilius, Seneca menulis:

“Kita menderita lebih banyak dalam bayangan daripada dalam kenyataan.”

Stoikisme dan Ketahanan Mental

Para praktisi Stoik modern seperti William B. Irvine menyebut kebiasaan ini sebagai catastrophizing — membayangkan skenario terburuk secara berlebihan. Melalui pendekatan Stoik, Irvine menyarankan latihan seperti premeditatio malorum, yakni membayangkan kemungkinan terburuk secara sadar, untuk mengurangi ketakutan akan hal yang tak pasti.

“Ketika Anda membayangkan kemungkinan buruk dengan sengaja, bukan untuk menakut-nakuti diri, tetapi untuk menerima kemungkinan itu, Anda jadi lebih siap secara emosional,” tulis Irvine dalam A Guide to the Good Life.

Apa Kata Psikologi dan Neurosains?

Menurut penelitian psikologis, manusia memiliki kecenderungan alami yang disebut negativity bias—yakni fokus lebih pada potensi bahaya ketimbang kenyamanan. Hal ini berakar pada sistem pertahanan primitif otak, terutama amigdala.

Namun, neuroplastisitas membuktikan bahwa kita bisa melatih ulang respons kita terhadap ketakutan lewat latihan seperti mindfulness dan journaling reflektif, dua praktik yang dianjurkan juga dalam Stoikisme.

Praktik Stoik Mengatasi Derita Imajinatif

1.     Jurnal Malam: Tuliskan tiga hal yang Anda takuti hari ini, lalu bandingkan dengan apa yang benar-benar terjadi.

2.     Logika atas Emosi: Saat rasa takut muncul, tanyakan: “Apa bukti rasional bahwa ini akan terjadi?”

3.     Latihan Negatif Realistis: Bayangkan kegagalan, bukan untuk pasrah, tapi untuk siap. Setelah itu, pikirkan: “Jika ini terjadi, apa yang bisa saya lakukan?”

Ryan Holiday: Imajinasi Bukan Musuh, Tapi Harus Dijinakkan

Penulis Stoik modern Ryan Holiday menyebut ketakutan imajinatif ini sebagai “hantu dalam pikiran.” Dalam bukunya The Obstacle Is the Way, ia menulis:

“Kita sering menghancurkan diri bukan karena apa yang terjadi, tetapi karena apa yang kita bayangkan akan terjadi.”

Penutup: Menyambut Kenyataan, Menjinakkan Imajinasi

Kutipan Seneca ini mengingatkan kita untuk tidak larut dalam skenario imajinatif yang belum tentu menjadi kenyataan. Keteguhan pikiran dan penerimaan atas realita adalah kunci utama untuk hidup lebih tenang dan rasional.

Karena sering kali, musuh terbesar bukan dunia di luar sana, tapi bayangan yang kita ciptakan sendiri di dalam kepala.