AS Memimpin Perang Siber: Bagaimana Negara Ini Menghadapi Serangan Cyber yang Kian Meningkat

Hacker (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Dalam dekade terakhir, serangan siber telah menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap keamanan nasional dan ekonomi global. Amerika Serikat, sebagai negara dengan infrastruktur digital yang paling maju, menjadi salah satu target utama serangan siber. Namun, dengan perkembangan yang cepat di bidang teknologi informasi, AS juga telah membangun kekuatan luar biasa dalam upaya pertahanan siber.

Terpapar YOLO, FOMO, dan FOPO: Ini Daftar Negara dengan Generasi Muda yang Paling Terpengaruh

Menurut laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Amerika Serikat menghadapi lebih dari 500 insiden siber besar dalam dua dekade terakhir, termasuk serangan terhadap infrastruktur kritis, perusahaan besar, dan lembaga pemerintah. Salah satu serangan terbesar terjadi pada tahun 2021 ketika serangan ransomware terhadap Colonial Pipeline menyebabkan gangguan pasokan bahan bakar di seluruh Pantai Timur AS.

Meningkatnya Ancaman Siber

Era Baru Spionase Siber: Peran Peretas China dalam Pelanggaran Data Global

Ancaman siber terhadap AS terus berkembang seiring dengan peningkatan digitalisasi dalam setiap aspek kehidupan. Menurut data dari FBI's Internet Crime Complaint Center (IC3), AS mengalami lebih dari 847.376 laporan insiden siber pada tahun 2021, dengan total kerugian mencapai lebih dari $6,9 miliar. Jenis serangan yang paling umum termasuk phishing, ransomware, dan serangan Distributed Denial of Service (DDoS).

Peran Lembaga Keamanan Siber AS

Dari Spionase ke Ransomware: Evolusi Taktik Kejahatan Siber China

Untuk menghadapi ancaman ini, AS telah mengembangkan ekosistem keamanan siber yang kuat. Department of Homeland Security (DHS), melalui Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA), memainkan peran penting dalam melindungi infrastruktur kritis AS dari serangan siber. Selain itu, National Security Agency (NSA), dengan unit Tailored Access Operations (TAO), terlibat dalam operasi siber ofensif untuk menghadapi ancaman yang berasal dari luar negeri.

FBI juga memiliki peran sentral dalam memerangi kejahatan siber melalui Cyber Division yang berfokus pada investigasi serangan siber yang berskala besar. Mereka bekerja sama dengan agen internasional seperti Europol dan INTERPOL untuk melacak dan menangkap penjahat siber yang beroperasi di luar negeri.

Inovasi Teknologi dalam Pertahanan Siber

Salah satu kekuatan utama AS dalam menghadapi serangan siber adalah kemampuannya untuk terus berinovasi. Lebih dari 58% perusahaan keamanan siber terkemuka di dunia berbasis di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan ini, seperti Palo Alto Networks, CrowdStrike, dan FireEye, memimpin dalam pengembangan solusi keamanan siber berbasis artificial intelligence (AI), machine learning, dan teknologi blockchain.

Inovasi ini tidak hanya digunakan untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang. Dalam beberapa kasus, AS telah menggunakan teknologi canggih untuk meluncurkan serangan siber yang bertujuan melumpuhkan infrastruktur musuh, seperti yang terjadi dalam kasus Stuxnet yang menyerang program nuklir Iran.

Kerja Sama Internasional dalam Memerangi Kejahatan Siber

Mengingat sifat lintas batas dari kejahatan siber, AS telah berkomitmen untuk memperkuat kerja sama internasional. Pada 2021, AS bekerja sama dengan negara-negara G7 untuk memperkenalkan "Ransomware Action Plan", yang bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi internasional dalam menghadapi ancaman ransomware.

Kerja sama ini juga melibatkan pertukaran informasi tentang ancaman terbaru serta pengembangan kebijakan bersama untuk menghentikan aliran dana yang digunakan oleh penjahat siber. Misalnya, AS telah bekerja sama dengan Uni Eropa dalam mengembangkan strategi siber yang bertujuan melindungi infrastruktur penting seperti energi, transportasi, dan perbankan.

Statistik yang Menonjol

  1. Lebih dari 58% perusahaan keamanan siber global berbasis di Amerika Serikat, menurut data dari CyWreck.
  2. $6,9 miliar kerugian dilaporkan dari insiden siber di AS pada tahun 2021, menjadikannya negara dengan jumlah kerugian terbesar akibat serangan siber di dunia.
  3. 500 insiden siber besar tercatat dalam laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) dalam dua dekade terakhir.

Amerika Serikat terus berada di garis depan dalam menghadapi ancaman siber global. Dengan investasi yang signifikan dalam teknologi keamanan siber dan kerja sama internasional yang kuat, AS berusaha melindungi infrastrukturnya dari serangan yang semakin canggih. Meski demikian, ancaman ini diperkirakan akan terus meningkat, dan AS harus terus berinovasi untuk tetap berada di depan dalam perang siber global.