Rebutan Mayat Korban Kerusuhan di Mal Klender Tahun 1998, Sebuah Kilas Balik (2)
- Twitter: @creepylogy_
Wisata –
– Bulan Mei selalu mengingatkan kita terhadap peristiwa memilukan yang pernah terjadi di ibu kota Jakarta.
Ya, kerusuhan Mei 1998, seolah baru saja terlewat.
Banyak kisah pilu dan menguras air mata, bila mengenang kembali peristiwa tersebut.
Dan inilah cerita dari seorang warga yang senang bermain di Central Plaza, Klender, Jakarta Timur, seperti yang dituliskannya di akun Twitter: @creepylogy_.
Tulisan ini dilihat pada hari Senin, 22 Mei 2023, pukul 21.20 WIB. Sedikit perubahan di sana-sini untuk menyesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang berlaku saat ini.
Tulisan ini dibagi menjadi 2 edisi karena begitu panjangnya cerita.
(lanjutan)
Teman saya selamat karena dilarang masuk oleh kakaknya, untung saja dia patuh. Namun tidak dengan sang kakak. Dan ia tidak pernah melihatnya lagi sejak itu.
Saat huru-hara berlangsung, hari begitu cerah, angin berembus kuat. Orang-orang yang tadinya masih ingin ke dalam langsung tercerai berai, lalu menonton dari jauh. Itu seperti pertunjukan kremasi di tengah kota.
Perlu dimengerti bagaimana penataan Central Plaza sehingga begitu banyak korban terjebak. Lantai satu merupakan kios-kios, lantai 2 dan 3 departement store dan retail. Jadi, semakin ke atas ada semakin banyak barang yang nilainya lebih menjanjikan.
Dalam kesempatan selangka itu, orang-orang tidak akan pulang membawa kaos atau celana. Kalau ada disc player, televisi, spring bed mahal, jam tangan, bahkan perhiasan, kenapa harus menggondol pakaian.
Justru busana yang rupanya dikumpulkan di lantai paling bawah, kemudian digunakan sebagai bahan bakar untuk menghabisi bangunan tersebut, sekaligus orang-orangnya yang terjebak di dalam.
Tidak akan tergambarkan situasi seperti apa di dalam sana. Gedung over capacity, selanjutnya mereka harus berjejalan menyelamatkan diri. Dan membakar selalu menjadi simbol terbaik bagi suksesnya huru-hara, di mana pun itu.
Sedikit orang yang dapat menyelamatkan diri, tentu mereka memperoleh keajaiban sekali seumur hidup. Saya dengar cerita tentang seorang pria penyintas setelah meninju, menendang, dan menginjak-injak sejumlah orang lain agar ia bisa lompat dari kaca dan selamat.
Pada sorenya atau malam, situasi tersebut baru terkendali. Banyak orang hendak masuk untuk membantu evakuasi dengan sukarela. Di antara mereka mungkin ada yang tadinya berniat menjarah dan jadi merasa sangat beruntung.
Menurut informasi, pihak berwenang semula datang dengan 170 kantong mayat. Kenyataan yang dibutuhkan jauh lebih banyak lagi. Dan kantong mayat jadi tidak begitu penting dibanding mengevakuasi seluruh korban tewas.
Sebagai perbandingan, jika Anda tinggal di satu blok apartemen yang terdiri dari 150-200 unit, lalu blok Anda terpanggang habis. Seperti itulah gambarannya.
Proses evakuasi sangat tidak mudah. Banyak mayat yang bertumpuk dengan mayat lain hingga lekat. Ada yang berpelukan, jongkok, berdiri menempel tembok, dan itu semua membutuhkan dedikasi ekstra dalam evakuasi.
Namun demikian, bagian tersulit ialah mengidentifikasi jasad. Sebab tidak ada bedanya yang satu dengan yang lain.
Jasad para korban tewas selanjutnya dikumpulkan di Cipto (RS Cipto Mangunkusumo – red.) meski tidak semua. Dengan semestinya banyak orang datang hendak memastikan keluarga atau kerabatnya.
Sepertinya cuma itu cara yang paling efektif untuk mengidentifikasi korban. Keluarga tentu lebih mengenal bentuk muka, barangkali korban mengenakan cincin atau punya tanda tubuh yang masih dikenali. Memang apa lagi, DNA?
Karena sangat terbatas, maka terjadilah hal-hal yang tidak terbayangkan. Ibu teman saya cerita, dia melihat dua lelaki bertikai memperebutkan mayat.
Dua-duanya mengklaim gigi mayat itu benar sekali cocok dengan keluarganya yang hilang. Yang satu yakin karena giginya tonggos dan besar, yang dua juga beralasan begitu.
Bukan itu saja, tingginya pun sama, begitu pula ukuran kepalanya. Keduanya berdebat tanpa lelah demi jasad yang tidak pasti.
Rupanya pertikaian mereka bukan kali itu terjadi. Oleh karena tidak ada yang mau mengalah, maka diputuskan jasad yang dipertikaikan itu, dimasukkan ke dalam daftar penguburan massal di Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Itu menjadi akhir kisah Central Plaza, mal terbesar di Jakarta Timur. Padahal pusat perbelanjaan itu baru berumur singkat, dibuka mulai tahun 1993 atau 1994. Setelahnya, mal tersebut mengalami rebranding dengan gonta-ganti nama sekian kali, namun tidak pernah lagi berjaya.
Malah belakangan ia lebih populer karena kisah-kisah mistis. Dari acaranya Caroline Zachrie sampai yang diangkat ke layar lebar. Namun semua itu sama sekali tidak menyeramkan dibanding kejadian yang sebenarnya