UGM: Museum Bio-Paleoantropologi, Benang Merah Antara Teuku Jacob dan Koleksi Manusia Purba

Museum Bio-Paleoantropologi UGM, Yogyakarta
Museum Bio-Paleoantropologi UGM, Yogyakarta
Sumber :
  • ugm.ac.id


Jacob juga banyak mengabdikan hidupnya bagi ilmu pengetahuan.

Namun, penyakit asma yang diidapnya, membuatnya tidak tahan dengan bau mayat.

Akhirnya, ia disebut memilih ilmu Antropologi Ragawi.

Pengabdiannya pada bidang inilah, yang mengantarkannya membuka pengetahuan baru bagi umat manusia dengan penemuan fosil Homo erectus Jawa di Sangiran pada tahun 1962 dan Homo floresiensis di Liang Bua, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Penemuan Jacob membantunya membantah hipotesis yang menyebutkan manusia purba Jawa memiliki kebiasaan memenggal dalam praktik kanibalisme.

Adanya Museum Bio-Paleoantropologi ini adalah cara dari UGM untuk terus mengabadikan ilmu pengetahuan, mengenai siapa kita dan memperkenalkannya kepada khalayak umum.

Lebih dari itu, museum ini adalah bentuk penghayatan terhadap jasa T. Jacob yang tidak terhingga, bagi UGM dan bagi dunia keilmuan dengan perjalanannya mencari pengetahuan dan jawaban atas pertanyaan siapakah kita?

Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D.

Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D.

Photo :
  • ugm.ac.id
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., mengatakan, keberadaan museum Bio-Paleoantropologi diharapkan dapat terus mendukung pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, biologi, paleoantropologi, dan anatomi.

Menurut Rektor Ova, museum ini menjadikan satu-satunya museum Bio-Paleoantropologi di Indonesia sebagai center of excellence dengan koleksi fosil yang akan dirawat, dilestarikan dan dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Dari museum ini, ujar Ova, para pengunjung memiliki referensi visual dan mendapatkan nuansa pembelajaran yang berbeda-beda.