“Kaya Itu Bukan Punya Banyak, Tapi Butuh Sedikit” – Epictetus

- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Di zaman modern yang dipenuhi dengan dorongan untuk memiliki lebih banyak — rumah lebih besar, mobil lebih mahal, gawai terbaru, liburan mewah — kita kerap lupa bahwa kekayaan sejati tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah barang yang kita miliki. Dalam keheningan filsafat kuno, seorang mantan budak yang menjadi filsuf besar bernama Epictetus menyampaikan pemikiran yang membalikkan logika umum:
“Kekayaan bukan terletak pada memiliki banyak, tetapi pada membutuhkan sedikit.”
Kutipan ini menjadi jantung dari filosofi Stoikisme yang ia ajarkan. Dan menariknya, di tengah dunia yang serba konsumtif dan hiruk-pikuk media sosial, kata-kata Epictetus justru semakin relevan, terutama bagi generasi yang sedang mencari makna sejati dalam hidup.
Mengapa Memiliki Banyak Belum Tentu Membuat Bahagia?
Kita sering terjebak dalam pola pikir bahwa semakin banyak yang kita miliki, semakin aman dan bahagia hidup kita. Namun kenyataannya, semakin banyak yang kita miliki, semakin banyak pula kekhawatiran yang muncul. Rumah mewah harus dijaga, mobil mahal harus diasuransikan, dan gawai canggih cepat usang. Pada akhirnya, bukannya merasa bebas, kita justru menjadi budak dari kepemilikan.
Epictetus, yang hidup di abad pertama Masehi, mengajarkan bahwa kekayaan sejati terletak dalam kemandirian batin dan kesederhanaan keinginan. Bagi Epictetus, seseorang bisa sangat kaya meskipun hanya memiliki sedikit, selama ia tidak dikuasai oleh keinginan yang tak berkesudahan.
Paradoks Kekayaan: Sedikit Itu Cukup
Kita hidup dalam masyarakat yang mendefinisikan kesuksesan berdasarkan angka: jumlah pengikut, gaji bulanan, ukuran rumah. Tapi filsafat Stoik mengajak kita untuk berpikir sebaliknya: berapa banyak yang kita butuhkan agar merasa cukup? Jika kita selalu ingin lebih, kapan kita akan berhenti?
Epictetus memberikan jawaban sederhana: ketika kita mampu membatasi keinginan, kita telah mencapai kekayaan sejati. Karena orang yang terus merasa kurang, meski memiliki segalanya, tetap saja merasa miskin.
Pelajaran Stoikisme dalam Menyikapi Kekayaan
Ajaran Epictetus menggarisbawahi pentingnya membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Menurutnya, banyak penderitaan manusia bukan berasal dari kekurangan, tetapi dari ambisi yang tidak terkendali.
Dalam konteks ini, Stoikisme mengajarkan:
1. Bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.
2. Menerima kenyataan hidup tanpa keluhan.
3. Melatih diri agar tidak bergantung pada benda luar untuk merasa bahagia.
Epictetus mengingatkan bahwa apa yang kita miliki bukanlah milik sejati kita. Uang bisa hilang, harta bisa dicuri, kesehatan bisa memburuk. Tapi cara kita merespons hidup, karakter, dan kebijaksanaan—itulah kekayaan yang tak bisa dirampas.
Contoh Sederhana dari Kehidupan Modern
Coba bayangkan dua orang:
- Satu orang tinggal di apartemen kecil, memiliki pendapatan pas-pasan, tetapi hidup tenang, punya waktu untuk keluarga, dan jarang stres.
- Sementara orang lain tinggal di rumah mewah, dengan mobil mahal dan karier cemerlang, tetapi selalu gelisah karena cicilan, tekanan kerja, dan tak punya waktu menikmati hidup.
Siapa yang lebih kaya?
Jawaban Epictetus jelas: yang pertama. Karena kekayaan sejati bukanlah soal jumlah aset, tapi seberapa damai dan cukup kita merasa dengan hidup kita.
Mengapa Ajaran Ini Relevan di Era Digital?
Di era digital, terutama di media sosial, kita dibombardir oleh gaya hidup yang serba mewah. Kita melihat selebritas, influencer, dan bahkan teman sebaya yang tampak hidupnya sempurna. Ini menciptakan tekanan sosial yang membuat kita merasa kurang — dan ingin lebih.
Padahal, menurut Epictetus, keinginan yang tidak dibatasi akan membawa penderitaan yang tak berujung. Semakin kita ingin terlihat seperti orang lain, semakin kita kehilangan jati diri dan ketenangan batin.
Stoikisme menawarkan alternatif: hidup sederhana, sadar diri, dan tidak mudah tergoda oleh impresi luar. Ini bukan ajaran kuno yang usang, tapi justru panduan praktis untuk hidup sehat secara mental di zaman yang penuh distraksi.
Tips Menjalani Hidup ala Epictetus: Kaya dengan Sedikit
Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:
1. Kurangi konsumsi impulsif. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah aku benar-benar butuh ini?”
2. Latih rasa cukup. Cobalah menjalani hari dengan apa yang kamu punya saat ini, tanpa menambahkan apapun.
3. Jauhkan diri dari pembandingan sosial. Batasi waktu di media sosial, terutama jika sering membuatmu merasa tidak cukup baik.
4. Syukuri hal-hal kecil. Mulai dari udara pagi, secangkir teh, hingga percakapan hangat dengan keluarga.
5. Bangun kekayaan batin. Bacalah buku, refleksi diri, dan pelajari filosofi hidup yang menumbuhkan kedewasaan spiritual.
Kesimpulan: Kaya yang Sejati Adalah Kaya dalam Cara Pandang
Epictetus, dengan segala keterbatasannya sebagai seorang mantan budak, mengajarkan bahwa kekayaan tidak terletak pada apa yang ada di luar, melainkan pada apa yang ada di dalam. Orang yang sedikit kebutuhannya dan puas dengan yang dimiliki, jauh lebih damai dan bebas dibanding orang yang memiliki segalanya tetapi selalu merasa kurang.
Di zaman modern yang penuh ambisi dan tekanan sosial, ajaran ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan mulai mengubah cara pandang terhadap kekayaan. Karena sejatinya, bahagia bukan soal apa yang kita punya, tapi bagaimana kita melihat dan mensyukurinya.