Plato: “Adalah Benar Memberi Setiap Orang Apa yang Menjadi Haknya” — Menilik Makna Keadilan di Era Modern

- Image Creator/Handoko
"It is right to give every man his due." — Plato
Jakarta, WISATA - Plato, filsuf Yunani kuno yang terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang keadilan, politik, dan moralitas, kembali menginspirasi dunia dengan kutipan legendarisnya: “Adalah benar memberi setiap orang apa yang menjadi haknya.” Meskipun kalimat ini diucapkan ribuan tahun yang lalu, maknanya tetap relevan, bahkan semakin penting di tengah tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang kita hadapi saat ini.
Lalu, apa makna sejati dari kata-kata tersebut? Bagaimana kita bisa menerapkannya dalam kehidupan masyarakat modern? Dan apa implikasinya terhadap sistem hukum, pemerintahan, serta kesetaraan di Indonesia?
Konsep Keadilan dalam Pandangan Plato
Plato mengangkat prinsip ini dalam salah satu karyanya yang paling berpengaruh, The Republic, ketika mendiskusikan hakikat keadilan. Bagi Plato, keadilan bukan sekadar memperlakukan semua orang secara sama, melainkan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya—apa yang pantas ia terima, sesuai dengan perannya, kontribusinya, dan kebutuhannya dalam masyarakat.
Dalam sistem ideal Plato, masyarakat dibagi menjadi tiga kelas: pemimpin (filosof), penjaga (militer), dan produsen (petani, pedagang, pengrajin). Keadilan tercapai ketika masing-masing golongan menjalankan perannya dengan baik tanpa mencampuri peran golongan lain. Dalam kerangka ini, “memberi setiap orang apa yang menjadi haknya” berarti menempatkan individu sesuai kapasitas dan kontribusinya—bukan berdasarkan kekuasaan, kekayaan, atau koneksi.
Relevansi di Indonesia: Keadilan Sosial Sebagai Tujuan Bangsa
Dalam konteks Indonesia, kutipan Plato sejalan dengan sila ke-5 Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Namun, tantangan besar muncul ketika realitas tidak sesuai dengan idealisme. Kesenjangan ekonomi, diskriminasi, korupsi, dan birokrasi yang lamban kerap menghalangi masyarakat untuk mendapatkan haknya secara adil.
Misalnya, masih banyak rakyat kecil yang kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas. Petani tidak mendapat harga panen yang layak, nelayan terpinggirkan oleh industri besar, dan pekerja informal tidak mendapat perlindungan yang semestinya. Semua ini menunjukkan bahwa prinsip "memberi setiap orang haknya" masih jauh dari tercapai.
Hukum dan Keadilan: Antara Teks dan Praktik
Sistem hukum idealnya menjadi instrumen utama untuk mewujudkan prinsip Plato ini. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas. Banyak kasus di mana rakyat kecil dihukum berat atas kesalahan kecil, sementara pelaku korupsi kelas kakap bisa lolos atau mendapat keringanan.
Keadilan yang sejati tidak hanya diukur dari bunyi undang-undang, tetapi juga dari bagaimana hukum itu dijalankan. Proses yang adil, transparan, dan tidak memihak menjadi syarat mutlak agar masyarakat merasa dihargai dan dilindungi.
Dunia Kerja dan Upaya Pengakuan Hak
Dalam dunia kerja, prinsip “memberi hak kepada yang berhak” bisa diterjemahkan sebagai perlakuan adil terhadap buruh, pekerja, dan karyawan. Gaji yang layak, jaminan sosial, dan lingkungan kerja yang sehat adalah hak dasar setiap pekerja. Ketika hak-hak ini diabaikan, ketimpangan pun tumbuh dan produktivitas menurun.
Begitu pula dalam sistem rekrutmen dan promosi kerja. Sering kali posisi strategis diberikan bukan karena kompetensi, tetapi karena koneksi atau kedekatan politik. Hal ini bertentangan dengan semangat Plato yang menekankan bahwa setiap orang harus mendapatkan sesuai dengan kapasitas dan kontribusinya.
Pendidikan: Pilar untuk Mewujudkan Keadilan
Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan masyarakat yang adil. Hanya dengan pendidikan yang merata dan bermutu, masyarakat bisa berkembang secara adil. Namun, di banyak daerah terpencil, akses terhadap pendidikan masih menjadi tantangan besar.
Anak-anak dari keluarga miskin sering kali tidak bisa melanjutkan pendidikan karena terbentur biaya atau harus membantu orang tua bekerja. Jika sistem pendidikan tidak inklusif, maka prinsip memberi hak kepada setiap orang hanya akan menjadi slogan kosong.
Transformasi Digital dan Kesetaraan Akses
Di era digital, keadilan juga harus diperluas ke ranah teknologi. Akses terhadap internet dan perangkat digital menjadi hak dasar untuk berkembang di zaman sekarang. Namun, masih banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau jaringan internet memadai. Ini membuat kesenjangan digital kian menganga.
Pemerataan infrastruktur digital dan peningkatan literasi teknologi menjadi kunci agar masyarakat tidak tertinggal dan bisa bersaing secara adil di dunia yang semakin terhubung.
Kesimpulan: Menjadikan Kutipan Plato sebagai Panduan Moral
Kutipan Plato “It is right to give every man his due” bukan sekadar kalimat filosofis, tetapi prinsip moral yang dapat menjadi kompas bagi kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, dunia usaha, dan kehidupan sosial. Di tengah kompleksitas zaman, prinsip ini menjadi pengingat bahwa keadilan bukan tentang kesamarataan semata, melainkan tentang memberi setiap orang tempat, perlakuan, dan hak yang layak berdasarkan siapa mereka dan apa yang mereka butuhkan.
Dalam masyarakat yang adil, tidak ada yang merasa diabaikan, tidak ada yang merasa dikecilkan. Semua merasa dihargai karena diberi apa yang menjadi haknya. Mewujudkan keadilan seperti itu memang bukan tugas mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan kesadaran kolektif, kepemimpinan yang berintegritas, serta kebijakan yang berpihak pada rakyat, Indonesia dapat perlahan tapi pasti mewujudkan keadilan sosial yang diimpikan para pendiri bangsa—dan yang telah dipikirkan Plato ribuan tahun lalu.