Ketulusan Dalam Kekaguman: Membaca Makna Mendalam dari Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Dalam konteks ini, Nietzsche bukan hanya berbicara soal kekaguman, tetapi juga tentang ego. Kekaguman sejati hanya bisa muncul jika ego tidak mendominasi.

Anak-Anak dan Kekaguman Tanpa Pamrih

Anak-anak sering kali menjadi contoh terbaik dari kekaguman yang polos. Mereka bisa berdecak kagum melihat pelangi, menyaksikan sulap sederhana, atau mendengar seseorang bermain gitar dengan indah. Mereka kagum bukan karena ingin menjadi pusat perhatian, tetapi karena benar-benar terpesona.

Namun, saat anak tumbuh dan mulai mengenal dunia persaingan, rasa kagum itu perlahan tercampuri oleh keinginan untuk menjadi yang lebih hebat. Maka pendidikan dan lingkungan sosial sangat berperan dalam menjaga agar kekaguman itu tidak kehilangan esensinya.

Mengapa Kekaguman Tulus Itu Langka?

Dalam dunia yang serba kompetitif, kita dilatih untuk membandingkan dan mengukur diri terhadap orang lain. Maka ketika kita melihat seseorang meraih sukses, muncul perasaan ambigu: antara kagum dan cemburu. Kita kagum pada pencapaian orang lain, tapi dalam hati juga berharap bahwa kita bisa mengunggulinya.

Nietzsche mengungkap bahwa kekaguman yang polos datang dari hati yang belum terkontaminasi oleh keinginan untuk dikagumi. Maka ketika seseorang belum pernah membayangkan dirinya akan menjadi pusat perhatian, ia mampu mengagumi dengan tulus—karena tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya.