Ketulusan Dalam Kekaguman: Membaca Makna Mendalam dari Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Kekaguman yang tulus tidak muncul karena rasa kurang atau ingin membandingkan. Ia muncul karena hati manusia mampu melihat cahaya dalam diri orang lain tanpa merasa terganggu olehnya.

Dalam kehidupan modern, di mana popularitas menjadi ukuran nilai seseorang, kekaguman sering kali berubah bentuk menjadi rasa iri yang disamarkan. Kekaguman yang seharusnya menjadi pujian tulus berubah menjadi strategi untuk meraih pengakuan diri.

Nietzsche mengingatkan bahwa bentuk kekaguman yang paling murni berasal dari mereka yang tidak memiliki keinginan untuk berada di tempat yang dikagumi tersebut. Mereka tidak merasa perlu untuk bersaing, dan justru karena itu, kekagumannya menjadi suci.


Media Sosial dan Kekaguman yang Terkontaminasi

Di era digital, kekaguman telah bergeser menjadi konsumsi visual. Kita menekan tombol "suka" atau memberikan komentar “hebat!” tanpa benar-benar merasa kagum. Kita lebih tertarik pada bagaimana tampak terlibat dalam kekaguman, ketimbang merasakannya secara mendalam.

Lebih dari itu, media sosial telah menciptakan budaya “aku juga harus dikagumi.” Setiap foto yang diunggah, setiap pencapaian yang dibagikan, adalah bagian dari panggung untuk mendapatkan kekaguman balik. Di sinilah kata-kata Nietzsche menjadi relevan: kekaguman yang polos hanya mungkin ada dalam diri orang yang belum pernah berpikir bahwa mereka juga suatu hari akan dipuja.