Aristoteles: Menjadi Pemimpin yang Baik Harus Dimulai dengan Belajar Dipimpin

Aristoteles, Theophrastus dan Straton
Aristoteles, Theophrastus dan Straton
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Di dunia internasional, tokoh seperti Nelson Mandela juga menunjukkan bahwa pengalaman sebagai rakyat yang tertindas justru menguatkan karakternya sebagai pemimpin. Ia dipenjara selama 27 tahun sebelum menjadi Presiden Afrika Selatan. Pengalamannya sebagai orang biasa membuatnya menjadi simbol rekonsiliasi dan perdamaian.

Kepemimpinan Berbasis Empati dan Pengalaman

Menurut Aristoteles, kepemimpinan bukan soal status atau jabatan semata. Pemimpin sejati adalah mereka yang bisa merasakan penderitaan dan harapan orang-orang yang mereka pimpin. Pengalaman sebagai orang yang pernah dipimpin akan menanamkan nilai-nilai seperti kesabaran, kerendahan hati, dan ketegasan yang adil.

Sayangnya, dalam praktik di banyak tempat, kita masih menemukan pemimpin yang jauh dari nilai-nilai itu. Beberapa pejabat publik menunjukkan gaya kepemimpinan yang arogan, jauh dari rakyat, dan tidak memahami persoalan dasar masyarakat. Ini menunjukkan bahwa proses menjadi pemimpin yang ideal belum dilewati dengan semestinya.

Membangun Kepemimpinan dari Bawah di Indonesia

Di Indonesia, banyak organisasi, instansi pemerintah, dan perusahaan kini mulai menyadari pentingnya proses bottom-up dalam melahirkan pemimpin. Program magang, rotasi jabatan, pelatihan kepemimpinan, dan pembinaan kader menjadi alat untuk memastikan calon pemimpin sudah cukup ditempa oleh pengalaman dipimpin.

Lembaga-lembaga seperti Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) bahkan menekankan pentingnya latihan kepemimpinan berbasis nilai dan pengalaman nyata. Calon-calon pemimpin diuji tidak hanya secara akademik, tetapi juga secara karakter dan kemampuan berempati.