Dua Tragedi Kehidupan Menurut Socrates: Saat Keinginan Tak Tercapai dan Ketika Ia Justru Terwujud

Socrates
Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Kehidupan, menurut Socrates, tak sekadar berisi suka cita dan kemenangan. Ia menyimpan paradoks yang menyentuh sisi paling dalam dari jiwa manusia. Dalam salah satu pernyataan terkenalnya, Socrates mengatakan, “Life contains but two tragedies. One is not to get your heart’s desire; the other is to get it.”—Kehidupan hanya mengandung dua tragedi: yang pertama adalah ketika keinginan terdalam kita tak tercapai, dan yang kedua adalah ketika keinginan itu justru tercapai.

Pernyataan ini, yang terdengar aneh di telinga awam, sebenarnya menggambarkan ironi mendalam tentang eksistensi manusia. Banyak dari kita yang sejak kecil diajarkan bahwa meraih impian adalah tujuan hidup. Namun, Socrates mengajak kita berpikir ulang: benarkah ketika keinginan hati tercapai, segalanya menjadi lebih baik?

Tragedi Pertama: Ketika Harapan Tak Tergapai

Kita semua pasti pernah merasa kecewa karena tidak mendapatkan sesuatu yang sangat diidam-idamkan. Entah itu cinta, karier, impian masa kecil, atau pencapaian pribadi. Perasaan gagal, kehilangan, dan kekosongan seolah menjadi beban yang menghimpit jiwa.

Tragedi ini mudah dipahami—kita merasa hancur karena apa yang sangat kita harapkan tidak datang. Dunia terasa tidak adil. Namun Socrates tidak berhenti di sana. Ia menyoroti tragedi yang lebih halus, lebih tersembunyi, dan jauh lebih mengejutkan: saat keinginan itu akhirnya tercapai.

Tragedi Kedua: Ketika Keinginan Terpenuhi, Tapi Tak Membahagiakan

Bayangkan seseorang yang bekerja keras sepanjang hidup untuk menjadi kaya. Ia mengorbankan waktu, keluarga, dan bahkan dirinya sendiri demi satu tujuan: kekayaan. Ketika akhirnya ia mendapatkan semuanya—rumah besar, mobil mewah, kekuasaan—ia justru merasa hampa. Kebahagiaan yang dijanjikan tidak pernah datang. Inilah tragedi kedua yang dimaksud Socrates.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena keinginan sering kali dibentuk oleh ilusi. Kita meyakini bahwa sesuatu di luar diri kita bisa membuat kita utuh. Padahal, kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari pencapaian eksternal, melainkan kedamaian internal.

Ilusi Keinginan dan Realitas Kehidupan

Manusia adalah makhluk yang tak pernah puas. Setelah satu keinginan tercapai, muncul keinginan baru. Siklus ini terus berulang, membuat hidup seperti perlombaan tanpa garis akhir. Socrates, melalui kutipan ini, mengajak kita untuk menyadari bahwa terkadang keinginan itu sendiri yang menjadi sumber penderitaan.

Banyak orang jatuh dalam perangkap ini: mengejar sesuatu dengan keyakinan bahwa itu akan menyelamatkan hidup mereka, hanya untuk menyadari bahwa setelah mendapatkannya, mereka tetap merasa kosong.

Pelajaran dari Socrates untuk Zaman Modern

Di era digital dan kapitalisme seperti sekarang, manusia dibombardir dengan gambaran tentang “kehidupan ideal”—karier gemilang, pasangan sempurna, rumah impian, dan liburan mewah. Semua itu dijadikan standar kebahagiaan. Namun Socrates mengingatkan bahwa tragedi hidup bisa terjadi justru saat kita mencapai semua itu, dan tidak merasakan apa pun yang kita harapkan.

Pesannya jelas: berhati-hatilah terhadap apa yang kamu inginkan. Jangan sampai kamu mengorbankan hal-hal penting dalam hidup—seperti kedamaian batin, integritas, atau hubungan yang bermakna—hanya demi mengejar sesuatu yang mungkin tidak memberi kebahagiaan sejati.

Hidup Bijak adalah Hidup yang Diperiksa

Bagi Socrates, hidup yang baik adalah hidup yang diperiksa (the unexamined life is not worth living). Kutipan tentang dua tragedi kehidupan ini memperkuat pandangannya bahwa kita perlu mempertanyakan motif dan tujuan dari keinginan kita. Mengapa kita menginginkannya? Apakah itu selaras dengan nilai-nilai hidup kita? Apakah kita siap menerima konsekuensinya?

Dengan merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, kita bisa menghindari kedua tragedi tersebut: tidak hanya rasa kecewa karena keinginan yang tak terpenuhi, tetapi juga rasa hampa karena keinginan yang akhirnya tercapai namun tidak memberi makna.

Refleksi Diri: Menginginkan yang Benar, atau Benar-Benar Menginginkan?

Setiap orang punya ambisi. Itu sah-sah saja. Namun tidak semua ambisi perlu dikejar habis-habisan. Terkadang, membiarkan sesuatu tidak tercapai adalah bentuk kebijaksanaan. Tidak semua keinginan akan membawa kita pada kebahagiaan. Bahkan, sebagian mungkin justru membawa kita pada penderitaan yang lebih dalam.

Dengan kesadaran ini, kita bisa mulai memilih keinginan dengan lebih bijak. Bukan dengan nafsu, tapi dengan refleksi. Bukan sekadar apa yang kita inginkan, tapi apakah keinginan itu benar-benar akan membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.

Penutup: Menemukan Makna di Balik Tragedi

Kutipan Socrates tentang dua tragedi dalam hidup bukanlah ungkapan pesimisme, melainkan ajakan untuk menggali makna lebih dalam dari hidup yang kita jalani. Ia mengajarkan kita bahwa penderitaan bukanlah musuh, dan pencapaian bukan selalu jawaban.

Tragedi, dalam konteks Socrates, adalah pintu masuk menuju kebijaksanaan. Ketika kita gagal mencapai keinginan, kita belajar menerima. Ketika kita berhasil namun tetap merasa kosong, kita belajar bahwa makna hidup tidak bisa dibeli oleh pencapaian.

Hidup bukan tentang selalu mendapatkan apa yang kita mau. Hidup adalah tentang memahami apa yang benar-benar penting.