Epikuros dan Epikurianisme: Filsafat Kebahagiaan yang Lahir dari Kesederhanaan dan Akal Sehat

- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA — Di tengah kebisingan modern tentang pencapaian material dan ambisi tak berujung, filsafat kuno yang diajarkan oleh Epikuros (341–270 SM) justru menawarkan ketenangan. Filsuf asal Yunani ini terkenal karena merumuskan sebuah sistem pemikiran yang disebut Epikurianisme, yakni ajaran yang menempatkan kebahagiaan, ketenangan batin, dan kesederhanaan sebagai inti kehidupan yang baik.
Lahir di pulau Samos, Epikuros kemudian mendirikan sekolah filsafat di Athena yang dikenal sebagai "Taman Epikuros" (The Garden of Epicurus). Sekolah ini menjadi pelopor karena terbuka untuk semua kalangan, termasuk perempuan dan budak—suatu hal yang langka di zamannya.
Mencapai Kebahagiaan Melalui Akal dan Ketenangan
Epikuros meyakini bahwa tujuan tertinggi hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan sejati (eudaimonia) yang dicapai bukan lewat kemewahan, melainkan melalui kesenangan yang bijak (hedone), pemahaman alam, dan pembebasan dari rasa takut.
Namun, kesenangan yang dimaksud Epikuros bukanlah kenikmatan yang serba instan atau berlebihan. Ia menekankan pentingnya kesenangan yang stabil dan berkelanjutan—seperti ketenangan jiwa, pertemanan sejati, dan hidup sederhana. Dalam etika Epikuros, kesenangan terbagi menjadi tiga jenis:
1. Kesenangan alami dan perlu: seperti makan, tempat tinggal, dan persahabatan.
2. Kesenangan alami tetapi tidak perlu: misalnya makanan lezat atau kenyamanan mewah.
3. Kesenangan tidak alami dan tidak perlu: seperti ambisi kekuasaan, popularitas, atau kekayaan berlebihan.
Bagi Epikuros, kebahagiaan justru ditemukan ketika manusia mampu mengendalikan keinginannya dan membebaskan diri dari tekanan eksternal maupun ketakutan batin.
Tidak Takut Mati, Tidak Takut Dewa
Salah satu ajaran paling berani dari Epikuros adalah bahwa kematian bukanlah sesuatu yang patut ditakuti. Menurutnya, ketika kita hidup, kematian belum ada. Dan saat kematian datang, kita sudah tidak lagi hidup. Maka, kematian bukan apa-apa bagi kita.
Epikuros juga memandang bahwa para dewa tidak campur tangan dalam urusan manusia. Ia tidak menolak eksistensi dewa, tetapi menganggap mereka sebagai makhluk sempurna yang hidup dalam kedamaian abadi dan tidak memiliki urusan dengan manusia. Ketakutan terhadap hukuman ilahi, menurutnya, hanyalah beban yang menyesatkan dan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.
Dengan cara berpikir ini, Epikuros menawarkan pembebasan dari rasa takut, baik terhadap alam gaib maupun nasib buruk.
Alam Semesta, Jiwa, dan Atom
Dalam bidang fisika, Epikuros mengembangkan pandangan bahwa alam semesta tersusun dari atom-atom dan ruang kosong, gagasan yang ia warisi dari filsuf sebelumnya, Demokritos. Jiwa manusia pun, katanya, terdiri dari atom dan akan lenyap setelah tubuh mati. Karena itu, tidak ada kehidupan setelah mati, dan karenanya tidak ada alasan untuk cemas terhadap "akhirat".
Ajaran ini sangat radikal, terutama bagi masyarakat Yunani yang sarat akan mitos dan keyakinan religius. Namun, justru dari sinilah kekuatan filsafat Epikuros memancar: ia mengandalkan nalar, pengalaman, dan pengamatan langsung sebagai dasar pengetahuan dan keputusan hidup.
Epikurianisme: Aliran Hidup yang Membebaskan
Epikurianisme berkembang menjadi salah satu dari tiga aliran besar dalam filsafat Helenistik, bersanding dengan Stoikisme dan Skeptisisme. Ajaran ini tidak hanya berhenti di Yunani, tetapi menjalar ke dunia Romawi, salah satunya melalui karya penyair dan filsuf Romawi, Lucretius, dalam puisi filsafatnya De Rerum Natura (Tentang Hakikat Alam).
Sayangnya, pada Abad Pertengahan, ajaran Epikuros disalahartikan sebagai ajaran tentang pemujaan kenikmatan jasmani semata dan bahkan dianggap sesat. Namun di masa modern, banyak pemikir kembali meninjau ulang warisan Epikuros. Bahkan, nilai-nilai seperti sekularisme, kebebasan berpikir, dan etika humanistik sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Epikurianisme.
Hidup Bahagia Itu Sederhana
Di tengah tekanan modern—target karier, gaya hidup konsumtif, dan pencapaian sosial—ajaran Epikuros terasa relevan kembali. Ia mengajarkan bahwa untuk hidup bahagia, manusia tidak perlu mengejar hal-hal yang rumit atau berlebihan. Cukup dengan memiliki kebutuhan dasar yang tercukupi, persahabatan yang tulus, dan pemahaman yang jernih terhadap dunia, manusia bisa mencapai ataraxia (ketenangan batin) dan aponia (bebas dari rasa sakit fisik).
Kutipan-Kutipan Epikuros yang Menginspirasi
Beberapa kutipan dari Epikuros yang hingga kini masih sering dikutip:
“Kematian bukanlah apa-apa bagi kita, karena selama kita ada, kematian tidak ada; dan ketika kematian datang, kita tidak ada lagi.”
— Epikuros
“Bukan orang yang memiliki paling banyak yang paling kaya, tetapi orang yang paling sedikit membutuhkannya.”
— Epikuros
Akhir Kata: Menghidupkan Kembali Kebijaksanaan Kuno
Filsafat Epikuros tidak hanya berbicara tentang teori-teori metafisika atau spekulasi logika tinggi. Sebaliknya, ajarannya bersifat sangat praktis, membumi, dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Epikuros mengajak manusia untuk berpikir jernih, mengurangi keinginan, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tekanan ini, pesan Epikuros terasa semakin relevan: Hiduplah sederhana, berpikirlah jernih, dan cintailah persahabatan sejati. Barangkali, dalam filsafat yang lahir lebih dari dua ribu tahun yang lalu ini, kita bisa menemukan kembali arah hidup yang tenang dan bermakna.