Dari Aristoteles ke Ibnu Sina: Ketika Sains Adalah Anak Kandung Islam yang Terlupakan

Aristoteles dan Ibnu Sina (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Meskipun sains pernah mencapai puncak kejayaan di dunia Islam, abad-abad berikutnya menyaksikan kemunduran yang signifikan. Pada abad ke-13, invasi Mongol menghancurkan Baghdad, termasuk Baitul Hikmah. Perubahan politik, konflik internal, dan kurangnya dukungan terhadap ilmu pengetahuan menyebabkan stagnasi dalam perkembangan sains di dunia Islam.

Sementara itu, Eropa mulai mengalami kebangkitan intelektual melalui kontak dengan dunia Islam, khususnya melalui Spanyol dan Sisilia. Universitas-universitas Eropa mulai mengadopsi gagasan Aristoteles yang dikembangkan oleh para filsuf Muslim.

Dari Anak Kandung Islam ke Barat

Kisah sains yang berpindah dari dunia Islam ke Barat adalah salah satu ironi besar dalam sejarah. Gagasan-gagasan Aristoteles yang diterjemahkan dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim menjadi fondasi bagi Renaisans Eropa. Dengan munculnya revolusi ilmiah di abad ke-17, sains berkembang pesat di Barat dan menjadi kekuatan utama dalam peradaban modern.

Namun, dunia Islam tampaknya kehilangan warisan intelektualnya sendiri. Banyak negara Muslim saat ini menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Minimnya investasi dalam pendidikan dan penelitian menjadi salah satu alasan utama.

Pelajaran dari Sejarah

Sejarah sains mengajarkan kita bahwa ilmu pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia. Tidak ada satu peradaban pun yang bisa mengklaim monopoli atasnya. Dunia Islam pernah menjadi penjaga dan pengembang utama warisan Aristoteles, tetapi tanggung jawab ini sekarang berada di tangan komunitas global.