Socrates, Sang Pencari Kebenaran: Kisah Hidup, Pengadilan, dan Warisannya

Suasana Penjara Socrates Jelang Hukuman Mati
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Salah satu kontribusi terbesar Socrates adalah pengembangan metode bertanya yang kini dikenal sebagai Socratic questioning. Melalui dialog dan pertanyaan, ia mendorong orang untuk mempertanyakan asumsi mereka dan menemukan kebenaran.

Misalnya, ketika seseorang mengklaim mengetahui apa itu keadilan, Socrates akan bertanya, “Apa definisi keadilan?” dan kemudian menantang definisi tersebut dengan contoh-contoh yang menunjukkan ketidakkonsistenan. Proses ini tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban final, tetapi untuk mendorong refleksi dan pemahaman yang lebih mendalam.

Metode ini tidak hanya menjadi dasar filsafat Barat tetapi juga digunakan dalam pendidikan modern untuk melatih siswa berpikir kritis. Hingga saat ini, pendekatan ini masih diterapkan di berbagai bidang, termasuk hukum, psikologi, dan ilmu sosial.

Pengadilan Socrates: Keberanian Melawan Ketidakadilan

Pada tahun 399 SM, Socrates diadili di Athena atas tuduhan merusak moral generasi muda dan tidak menghormati dewa-dewa kota. Tuduhan ini sebenarnya lebih bersifat politis daripada filosofis, karena Socrates sering mengkritik pemimpin dan kebijakan Athena yang dianggapnya tidak adil.

Dalam pembelaannya, yang diabadikan oleh Plato dalam karya Apology, Socrates dengan tegas menolak untuk mencabut ajarannya. Ia mengatakan bahwa hidup tanpa pencarian kebenaran adalah hidup yang tidak layak dijalani.

Pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates. Ia dipaksa meminum racun hemlock, tetapi bahkan dalam saat-saat terakhirnya, ia tetap tenang dan menerima hukumannya dengan keberanian. Socrates mengatakan bahwa kematian hanyalah transisi menuju kehidupan yang lebih baik, di mana ia dapat terus mencari kebenaran.